Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Global - Rupiah Dekati Level Psikologis Rp15.000 Per Dollar AS

BI Perlu Naikkan Bunga Acuan Lagi

Foto : Sumber: Bloomberg - Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) perlu kembali menaikkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate, guna menjaga agar aset investasi dalam rupiah masih tetap menarik, sehingga diharapkan bisa menahan arus modal keluar (capital outflow).

Sebab, pelaku pasar menilai bahwa Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed pada bulan ini kemungkinan besar kembali menaikkan bunga acuan, Federal Fund Rate (FFR), untuk yang ketiga kali dari perkiraan empat kali sepanjang tahun ini.

Sementara itu, kurs rupiah pada Selasa (25/9) memimpin pelemahan mata uang Asia setelah imbal hasil (yield) US Treasury 10 tahun menguat ke level tertingginya sejak Mei lalu menjadi 3,10 persen.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot kemarin ditutup melemah 52 poin atau 0,35 persen, dari penutupan Senin (24/9) di tingkat 14.866 rupiah per dollar AS, menuju 14.918 rupiah per dollar AS.

Sepanjang tahun ini atau year-to-date (ytd), mata uang RI itu telah terdepresiasi 10 persen. Ini merupakan posisi terlemah kedua dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya.

Pelaku pasar mengemukakan selain ekspektasi kenaikan FFR pada rapat The Fed, Selasa waktu setempat, kenaikan harga minyak mentah juga meruntuhkan sentimen terhadap negara- negara dengan defisit transaksi berjalan.

"Mata uang Asia, khususnya negara-negara dengan utang mata uang asing yang lebih tinggi, diperkirakan semakin tertekan jika The Fed menjadi lebih hawkish, khususnya dengan imbal hasil US Treasury 10 tahun bertahan di atas 3,05 persen," jelas Khoon Goh, kepala riset di Australia and New Zealand Banking Group Ltd, seperti dikutip Bloomberg.

Terkait pergerakan rupiah, pengamat pasar uang, Farial Anwar, mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah kali ini masih dipicu sejumlah faktor.

Menurut dia, faktor pertama adalah perkiraan kenaikan suku bunga The Fed dua kali lagi sepanjang 2018. Diperkirakan Bank Sentral AS pada bulan ini akan menaikkan bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,00-2,25 persen.

Penaikkan suku bunga The Fed merupakan bagian dari normalisasi kebijakan moneter AS dan juga untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi AS yang kencang. Sebab, Pertumbuhan yang terlalu kencang karena dikhawatirkan melebihi jangkar sasaran inflasi.

Namun, kenaikan suku bunga The Fed akan memancing suku bunga instrumen keuangan di AS semakin menarik. Akibatnya, potensi pelarian arus modal dari negara berkembang ke negara Paman Sam akan semakin besar.

"Hal itu tentu saja memicu pelaku pasar lebih suka pegang dollar, karena bunganya lebih menarik sehingga akan membuat banyak orang lari ke dollar," jelas dia, di Selasa.

Faktor kedua, perang dagang AS-Tiongkok yang menimbulkan gejolak bagi perekonomian global sehingga pemodal memilih investasi yang lebih aman, yakni dollar AS. Ini tentunya menambah tekanan bagi mata uang RI.

Masih Gagal

Farial menambahkan, dari sisi domestik, pemerintah maupun BI telah mengeluarkan berbagai kebijakan, mulai menaikkan suku bunga acuan hingga pengendalian impor. Namun, nampaknya cara-cara tersebut masih gagal memperbaiki kurs rupiah.

"Intervensi sudah dilakukan dengan menggunakan devisa hingga turun dari 132 miliar dollar AS menjadi 117 miliar dollar AS. BI juga melakukan intervensi di surat utang negara agar harganya tidak jatuh.

Tapi dampaknya belum optimal, ini yang jadi masalah," kata dia. Farial pun memprediksi BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini akan kembali menaikkan suku bunga acuan BI. Sepanjang 2018, total BI sudah empat kali menaikkan suku bunga acuan sebesar 1,25 persen menjadi 5,5 persen.

Penaikan suku bunga itu untuk mengantisipasi tekanan ekonomi global yang bisa melarikan modal asing di pasar keuangan Indonesia. Guna menopang rupiah, Indonesia murni mengandalkan arus modal portofolio di sektor keuangan.

Pasalnya, aliran devisa dari eksporimpor barang dan jasa yang dicerminkan di neraca transaksi berjalan, mengalami defisit. Moody's Analytics dalam risetnya juga memperkirakan BI masih akan mengambil langkah pre-emptive dengan menaikkan suku bunga acuan.

"Pada 5 September lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo memberikan sinyal bank sentral akan terus mengambil langkah pre-emptive untuk mengatasi pelemahan nilai tukar. Retorika ini digunakan dalam beberapa waktu terakhir untuk menaikkan suku bunga," sebut kajian Moody's. ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top