Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Petani Bagian Terbesar Penyumbang Angka Kemiskinan di Indonesia

Berpihak Petani Nasional, Batasi Impor Pangan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Impor beras, terutama saat panen, merugikan petani karena harga akan turun.

>>Data produksi pertanian yang karut-marut rawan disalahgunakan untuk impor.

JAKARTA - Kebijakan impor yang masif, terutama komoditas pangan dan barang konsumsi, bakal mematikan petani dan industri nasional.

Pada saat petani dan industri nasional mati maka Indonesia akan bergantung pada negara eksportir untuk memenuhi kebutuhan pangan dan barang konsumsi rakyat.

Oleh karena itu, untuk melindungi petani dan industri dalam negeri dan menghindari dominasi asing, khususnya pada pangan nasional, pemerintah diminta bersungguhsungguh membatasi impor.

Pakar pertanian Unsoed Purwokerto, Totok Agung Dwi Haryanto, mengatakan pemerintah seharusnya memiliki alasan yang realistis dan rasional ketika memutuskan untuk impor komoditas strategis, seperti beras.

"Selama ini, petani kita telah mencurahkan dan mendedikasikan semua yang dimilikinya, waktu, tenaga, dan pikirannya, untuk menyediakan pangan bagi seluruh penduduk NKRI," kata dia, di Jakarta, Jumat (21/9).

Akan tetapi, lanjut Totok, upaya pemerintah untuk menyejahterakan petani terlihat belum optimal. Buktinya, sampai saat ini petani tetap menjadi bagian terbesar penyumbang angka kemiskinan di Indonesia.

"Impor beras, terutama saat panen, tentu akan merugikan petani. Harga di tingkat petani tentu akan turun," kata dia. Dia menegaskan upaya membatasi atau menghentikan impor beras adalah satu bentuk keberpihakan kepada petani.

"Artinya, ada penghormatan dan penghargaan terhadap jerih payah petani. Setidaknya, harga beras tidak akan turun," papar dia.

Sebelumnya, Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, mengingatkan di balik polemik antara Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal impor beras, publik jangan sampai mengabaikan meningkatnya kendali asing terhadap kebutuhan pangan di Indonesia.

Hal tersebut bisa terjadi akibat kebergantungan pada pangan impor, yang sangat bertentangan dengan cita-cita kedaulatan pangan. Bahkan, bisa menghilangkan kedaulatan bangsa Indonesia.

"Jangan sampai asing dominan dalam memenuhi pangan Indonesia," ujar dia. Menurut Dwi Andreas, meskipun pemerintah mengklaim bahwa Indonesia telah swasembada dan mampu mengekspor pangan, tapi realitas datanya tidak demikian.

Dia memaparkan impor untuk tujuh komoditas pangan utama justru meningkat, dari 21,7 juta ton pada 2014 menjadi 25,2 juta ton pada 2017.

Menanggapi polemik soal impor beras, Totok menilai kebijakan Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menahan impor adalah langkah yang tepat di samping tetap perlu upaya lain untuk lebih mengoptimalkan peran Bulog.

Sementara itu, Menteri Perdagangan sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab dan mengatur perdagangan, harus memiliki alasan yang sangat realistis dan rasional ketika memutuskan impor beras.

"Misalnya, hanya khusus untuk jenis beras yang dikonsumsi masyarakat, namun belum bisa diproduksi oleh petani kita," tukas dia.

Ancaman Kedaulatan

Peneliti Indef, Rusli Abdullah meminta pemerintah lebih bijak dalam melakukan importasi. Tentunya, dengan memilah dan memilih agar impor tidak menjadi ancaman bagi kedaulatan bangsa Indonesia.

"Pemerintah harus menyeleksi mana yang bisa diproduksi dalam negeri dan mana yang tidak," jelas dia. Masalahnya, kata Rusli, akurasi data menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Data pertanian yang karut-marut rawan disalahgunakan.

"Yang bahan pokok saja, karut- marut, apalagi komoditas pangan lain. Selama data itu tidak dibenahi, karut-marut impor bakal terus terjadi," tukas dia.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan impor yang membengkak tahun ini merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi.

Menurut dia, kenaikan impor disebut mencerminkan keinginan pelaku usaha memanfaatkan momentum ekonomi yang membaik melalui ekspansi bisnis. Kendati demikian, peningkatan impor tidak bisa dimaklumi begitu saja.

Pasalnya, selain mencerminkan ekspansi bisnis, bengkaknya impor mengindikasikan kinerja industri manufaktur yang melempem. Darmin menjelaskan, saat ini pohon industri di Indonesia dari hulu ke hilir terbilang tidak lengkap, utamanya sektor industri petrokimia.

Konsekuensinya, banyak bahan baku atau barang perantara harus diimpor untuk menopang kegiatan industri hilir.

"Banyak sekali kegiatan ekonomi yang tidak lahir di Indonesia, makanya setiap ada pertumbuhan ekonomi, impor meledaknya cukup cepat," jelas Darmin, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat. ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top