Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Organisasi Internasional I RI ke Depan Akan Tersandera Perdagangan Bebas

Bergabungnya RI ke OECD Justru Mendorong Impor Makin Marak

Foto : ISTIMEWA

AWAN SANTOSA Peneliti Mubyarto Institute - Mestinya Indonesia di OECD menjadi focal point bagi demokratisasi ekonomi dan kerja sama antarekonomi rakyat dan koperasi di antara anggota OECD.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sebanyak 38 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi dikabarkan telah menyetujui Indonesia untuk masuk menjadi salah satu anggota organisasi tersebut.

Kabar tersebut disampaikan Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, baru-baru ini di Jakarta. Dia mengaku sudah menerima peta jalan bergabungnya Indonesia menjadi anggota OECD dalam pertemuan dengan anggota OECD di Paris, pekan lalu.

Bergabungnya Indonesia ke OECD itu mendapat respons yang beragam dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, akademisi, maupun ekonom. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri menyebut masuknya Indonesia sebagai anggota OECD akan memberi banyak manfaat yang konkret untuk menjadi negara maju.

"OECD ini penting sekali karena organisasi ini untuk negara maju," kata Presiden Jokowi saat melakukan kunjungan kerja di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Dengan bergabungnya ke OECD, Presiden berharap bisa memudahkan Indonesia untuk mengakses beberapa hal terkait dengan investasi, serta lembaga-lembaga internasional. Jokowi juga berharap Indonesia sebagai anggota OECD akan memperoleh manfaat yang konkret, terutama agar RI tidak terjebak ke dalam middle income trap atau jebakan pendapatan menengah.

"Kita bisa melompat menjadi negara maju karena memang di sana aturan mainnya banyak sekali yang harus diikuti, dan ini akan mendisiplinkan kita untuk bisa masuk ke tujuan kita untuk menjadi negara maju," kata Kepala Negara.

Liberalisasi Tidak Terelakkan

Menanggapi pernyataan Presiden, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, meminta pemerintah tidak terlalu optimistis dengan OECD, sebab ke depan bisa saja akan tersandera oleh perdagangan bebas.

"Impor akan sangat berpotensi meningkat. Kenapa 38 negara setuju? Ya, karena melihat market Indonesia yang besar," tegas Huda.

Pemerintah, paparnya, sangat mendewakan investasi sebagai berhala yang harus masuk ke Indonesia, tetapi liberalisasi menjadi hal yang tidak terelakkan. Apalagi, standar pengelolaan ekonomi pun mengikuti standar OECD. Maka, pekerjaan rumahnya adalah standardisasi pengelolaan ekonomi sesuai standar OECD.

"Mungkin ada ratusan standar pengelolaan ekonomi yang belum terstandar OECD, ini harus disesuaikan. Begitu pun ketika disesuaikan juga harus selaras dengan arah ekonomi nasional. Liberalisasi ekonomi di OECD harus disesuaikan dengan aturan lokal. Maka jangan heran, nanti akan banyak aturan liberal muncul," tandas Huda.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, khawatir dengan bergabungnya RI ke OECD, karena bisa menjadi sasaran negara-negara besar untuk mengekspor produk-produk mereka.

Dia pun berharap agar RI jangan pasif saja, tetapi aktif memperjuangkan kepentingan bangsa. "Mestinya Indonesia di OECD menjadi focal point bagi demokratisasi ekonomi dan kerja sama antarekonomi rakyat dan koperasi di antara anggota OECD," kata Awan.

OECD, kata Awan, sejatinya adalah lembaga kerja sama internasional, sehingga mestinya banyak mempromosikan bentuk-bentuk kerja sama ekonomi yang saling memberi manfaat antarnegara anggotanya.

"Bukan sebaliknya, malah menjadi ajang mendorong pasar bebas dan liberalisasi ekonomi," paparnya.

Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan, Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dari keanggotaan OECD dan jangan malah menjadi sasaran impor.

"Sebisa mungkin kerja sama yang dikembangkan dapat menarik investasi nyata seperti pembukaan produksi perusahaan-perusahaan hi-tech negara maju di negara kita. Dengan begitu selain ada aliran dana segar yang masuk, juga benefit nyata lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, dan yang terpenting harus ada transfer teknologi, agar industri kita ke depan lebih maju," tuturnya.

Secara terpisah, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, dalam acara Mandiri Macro and Market Brief, Thriving Through Transition, mengatakan potensi risiko perekonomian ke depan masih besar, terutama dengan masih berlangsungnya gejolak geopolitik global, kenaikan harga energi dan pangan, serta tekanan dari keluarnya investasi portofolio asing yang menyebabkan penguatan dollar Amerika Serikat (AS).

Dengan mencermati tantangan tersebut, maka suku bunga acuan belum akan turun dalam waktu dekat.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top