
Bercermin Darurat Sampah Bandung Raya dan Jawa Bagian Barat
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bandung.
Foto: ANTARA/HO-Humas Pemkot BandungJAKARTA - Musim hujan mengakibatkan sebagian wilayah di Indonesia dilanda banjir bandang. Banjir sudah merambah di daratan tinggi, seperti Bogor, Bandung Barat, Batu. Kondisi ini diperparah oleh perkara sampah. Banjir sampah pula.
Demikian dikatakan Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Selasa (9/11).
Menurut Bagong, situasi sampah di daratan tampak semakin buruk, dan dampaknya masuk ke sungai mengendap di laut. Berbagai jenis sampah, terutama plastik, styrefoam, kayu, busa, masuk ke laut. Sampah plastik menambah volume mikroplastik di ekosistem laut. Belum lagi limbah cair domestik dan pabrik menambah beban pencemaran laut.
Banjir sampah, tambah dia, menghantui dan menerpa banyak kota, antara lain Jakarta, Tangsel, Bogor, Bandung, Bekasi, Yogyakarta, Semarang. Coba lihat kondisi TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng, TPA Galuga, TPA Cipeucang, TPA Sarimukti.
"Semua penuh sampah dan menjadi gunung-gunung sampah. Ketika musim kemarau rawan kebakaran, dan ketika musim hujan rawan longsor. Belum lagi leachate-nya sebagian masuk ke sungai. Itu wajah TPA open-dumping yang sesungguhnya. Akibatnya menimbulkan pencemaran air, tanah, dan udara," kata Bagong.
Pengelolaan sampah yang mengandalkan TPA akan menyebabkan malapetaka. Pengelolaan tersebut merupakan paradigma lama dan memperburuk situasi, krisis TPA. Kasus berhentinya pelayanan pengangkutan sampah kota Bandung ke TPA Sarimukti merupakan tragedi yang berulang. Bandung menuju Kota Lautan Sampah.
Sekarang implementasi pengelolaan sampah di Bandung Raya berfokus pada pengangkutan dan penumpukan sampah di TPA. Sehingga anggaran habis terserap untuk biaya pengangkutan, alat berat, BBM, maintenance dan gaji pegawai. Boleh jadi, anggaran untuk pengolahan sampah minim atau tidak ada.
Pasca Tragedi TPA Leuwigajah longsor 21 Februari 2005, menelan korban 200 orang dan harta benda. Bandung punya sejarah dan masalah tersendiri yang kompleks dan ruwet. Dalam buku Bandung Prahara Lautan Sampah (Bagong Suyoto, 2006) ditampilkan fakta-fakta tumpukan sampah tersebar di hampir sudut-sudut kota Bandung. Ketika itu Indonesia belum memiliki regulasi pengelolaan sampah.
Sejak 14 atau 15 April 2005 Kota Bandung dan Kota Cimahi praktis tidak mempunyai TPA, setelah ditutupnya TPA Cicabe. Padahal penduduk kota ini memproduksi sampah lebih dari 7.500 m³ per hari, belum lagi sampah dari Kota Cimahi. Timbulan sampah yang besar tanpa tempat pembuangan permanen, sungguh mengerikan.
Beberapa TPA alternatif yang dimiliki Kota Bandung tidak bisa dioperasikan karena sudah penuh sampah dan di sisi lain warga sekitar menolaknya. Merupakan kondisi buntu yang sulit dinalar oleh otak waras. Beberapa kali Kota Bandung dan Cimahi didera oleh keadaan pahit karena tidak memiliki TPA sampah.
Lebih dari dua bulan Bandung dan Cimahi tidak memiliki TPA sampah pasca longsornya TPA Leuwigajah, Cimahi. Pada 14 Desember 2006, sejumlah kalangan, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan lebih dari 500.000 m³ sampah menumpuk di TPS-TPS di Kota Bandung, seperti di pinggir-pinggir pasar, jalan, saluran air, pinggir kali, sekitar fasilitas umum, rumah sakit, sekolah, dan lainnya. Untuk membuang tumpuk-tumpukan sampah membutuhkan waktu, dana, armada pengangkut, tenaga yang besar.
Berdasarkan pengalaman dari sejumlah negara dan beberapa daerah di Indonesia, pengelolaan sampah tidak bisa ditangani secara serampangan dan trial and errol. Setiap kota, lebih-lebih metropolitan harus memiliki master plan pengelolaan sampah, setidaknya untuk jangka waktu 15-20 tahun ke depan. Master plan tersebut harus mendeskripsikan pengelolaan sampah secara terencana, menyeluruh dan terintegrasi dengan tata ruang, kesehatan, pemukiman, dan sebagainya. Tidak bisa hanya bicara tentang TPA, TPST atau jenis tempat penampungan sampah saja.
Menurut Bagong, jika TPA menjadi kunci penimbunan sampah, maka ketika TPA ditutup karena terlalu penuh atau ditolak warga sekitar, yang terjadi TPA benar-benar pindah dan berada di tengah-tengah kota serta menjadi permasalahan kota yang memalukan. Jika terpaksa TPA berada di tengah-tengah kota maka bencana atau malapetaka yang akan timbul, dan protes warga pun terus merebak. Akibatnya menyulitkan pemerintah kota untuk berbuat tanpa adanya dukungan legal, misalnya penerapan keadaan darurat sampah.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk mengatasi parahara sampah di Kota Bandung pada 27 Desember 2005 Walikota Bandung, Dada Rosada mengajukan permohonan Pernyataan Darurat Penanganan Sampah di Kota Bandung kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar. Permintaan rekomendasi dan penerbitan darurat juga diajukan oleh Bupati Bandung Obar Sobarna pada 29 Desember 2005 dan Walikota Cimahi M. Itoc Tochija pada 27 Desember 2005.
Selanjutnya pada 4 Januari 2006 Walikota Bandung mengajukan kembali permintaan keadaan darurat. Menyimak isi surat yang diajukan ketiga kepala daerah itu sangat urgen.
Ketika itu Menteri menolak. Berdasarkan surat tersebut Menneg LH melalui surat No: B-196/MENLH/01/2006 telah memberikan jawaban bahwa: (a) Kondisi darurat hanya berlaku karena alasan Pertahanan Negara atau dalam rangka penanggulangan bencan alam; (b) Bila TPA di Kampung Cimerang dan Cileungsing Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung akan dioperasikan dengan sistem open dumping maka rencana pembangunan TPA tersebut wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Kondisi Bandung Lautan Sampah, telah disebutkan bahwa TPA Jelekong sebagai pengganti TPA Leuwigajah telah habis masa pakainya dan ditutup pada 31 Desember 2005. Dan sejak 9 Januari 2006 Pemkot Bandung memanfaatkan kembali bekas TPA Cicabe. Jumlah sampah yang dibuang ke TPA Cicabe rata-rata 1.300 m³ per hari. Jumlah sampah tersebut diangkut rata-rata 130 rit per hari. Padahal timbulan sampah Kota Bandung sebanyak 7.500 m³ atau 2.250 ton per hari. Sehingga jumlah sampah yang tidak terangkut ke TPA sebanyak 5.700 m³ atau 1.710 ton per hari. Lama-kelamaan sampah ini akan menumpuk memenuhi berbagai tempat di Kota Bandung.
Satu per satu TPA yang dimiliki Bandung ditutup sebab sudah penuh sampah, muncullah TPA Sarimukti. Para penguasa Bandung Raya bisa bernafas lega dan tidur nyenyak. Dalam kurun 5 tahun masa tenang itu Bandung dihebohkan lagi ancaman terulangnya masa lautan sampah. TPA Sarimukti mendekatai tumbang.
Sekarang, tambah dia, jumlah timbulan sampah Kota Bandung hampir 1.600 ton/hari yang dibuang ke TPA sekitar 1.300 ton/hari dan Kabupaten Bandung Barat sekitar 600 ton/hari. Keduanya mengalami keruwetan sebab TPA Sarimukti semakin penuh. Ini hasil perbuatan tumpuk menumpuk sampah. Pendekatan kranjingan, kuno banget.
Gubernur Jawa Barat mengeluarkan surat edaran No. 30/PBLS.04/Perek tentang Gerakan Pilah Sampah dari Sumbernya, agar setiap kabupaten/kota memilah sampah. Organik, an-organik dan B3. Tentu mengolah sampah dari sumber sistem 3R (reduce, reuse, recycle) dengan melibatkan komunitas, bank sampah, swasta.
Mestinya, para pengelola sampah di tingkat sumber dimotivasi dan difasilitasi biaya operasional, multi-teknologi, pasar dan informasi teknologi daur ulang.
Kebijakan dan hukum pengelolaan sampah sudah banyak, seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81/2012, Perpres No. 97/2017 tentang Jakstranas,Perda Jabar No. 1/2016 Tentang Perubahan atas Perda Provinsi Jabar No. 12/2010 Tentang Pengelolaan Sampah di Jabar, Jakstra Jabar, dan hampir steiap kota/kabupaten sudah punya Perda tentang Pengelolaan Sampah dan Jakstrada.
Menurut Bagong, prinsip dasar yang harus diingatkan, pengelolaan sampah dari sumber dengan multi-teknologi sangat penting. Melibatkan berbagai stakeholders juga sangat penting. Keberhasilan pengelolaan sampah itu, sampah yang dibuang ke TPA semakin tahun semakin berkurang. Jadi setiap tahun, dua atau tiga tahun harus ada target pengurangan sampah yang ketat, misal 20%, 30% dan pada suatu saat nanti sampah yang dibuang ke TPA tinggal 30%.
Sampah yang dibuang ke TPA benar-benar residu. Ini bagian dari konsep zero landfill, pengelolaan sampah tidak tergantung pada TPA. Agar kita tidak dilanda banjir dan darurat sampah terus-menerus akibat ketergantungan pada TPA.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Marcellus Widiarto
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Cemari Lingkungan, Pengelola 7 TPA Open Dumping Bakal Dipidana
- 2 Bayern Munich Siap Rebut Kembali Gelar Bundesliga
- 3 Indonesia Akan Raup US$4,2 Miliar dari Ekspor Listrik EBT ke Singapura
- 4 Sabtu Pagi, Kualitas Udara Jakarta Masuk Kategori Sedang
- 5 Balai Bahasa NTT Perluas Pelayanan melalui Klinik Bahasa
Berita Terkini
-
Rehan/Gloria Melaju ke Final Orleans Masters 2025
-
MBG Belum Ada di Babelan Bekasi, Presiden Prabowo Langsung Telepon Kepala BGN
-
UFC Batalkan Laga Kelas Berat Blaydes Lawan Kuniev di UFC 313
-
Cuaca Jakarta Hari Minggu, Seluruh Wilayah Diguyur Hujan dari Pagi hingga Sore
-
Arumi Ingin Produk Kerajinan Jatim Mendunia