Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Beragama Minus Toleransi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh Mohammad Sholihul Wafi

Kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan tampaknya hanya sebatas teks dalam konstitusi, belum ada kesadaran implementasi secara menyeluruh dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Kasus penolakan Slamet Jumiarto (42) yang beragama Katolik untuk tinggal di dusun Karet, Kecamatan Pleret, Bantul (31/3) merupakan bukti bahwa kehidupan beragama masih saja dihadapkan pada praktikpraktik intoleransi. Tentu saja, ini menjadi ancaman serius bangsa dengan kodrat keberagamannya.

Meski sering mengeklaim sebagai bereligiositas tinggi, tetap saja Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara agama ataupun sekuler. Dalam wadah itu, seharusnya semua agama dan keyakinan memperoleh hak dan perlakuan sama. Pancasila sebagai falsafah negara juga telah mengakomodasi keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, bahasa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat. Kita bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda, tapi tetap satu).

Itu sebabnya, negara menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Melalui UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, sebenarnya negara telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama.

Meski perundang-undangan telah menjamin kesamaan hak setiap umat beragama dalam segala urusan berhubungan dengan kehidungan berbangsa dan bernegara, masih saja ada masyarakat yang tidak menghargai kebebasan beragama. Kondisi ini menyiratkan semangat beragama yang minus toleransi. M Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Berislam secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama karya Irwan Masduqi (2011) mengatakan, ketidaktoleranan dalam agama bisa timbul karena penggabungan antara motif iman dan kekuasaan.

Karena itu, sekularisasi antara motif keagamaan dan politik kekuasaan sebenarnya memberi pintu masuk menuju ruang toleransi. Sebaliknya, persekutuan agama dan politik cenderung membawa bangsa pada absolutisme dan tindakan intoleran mengatasnamakan agama. Paradoksnya: bukan keprofanan yang memicu kekerasan, melainkan justru kesakralan yang memicu sikap intoleran.

Peristiwa intoleransi dan ketidakrukunan umat beragama sangat bertentangan dengan prinsip pluralisme dan toleransi agama. Meski tiap pihak bisa juga melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya, rasanya agama apa pun menghalang-halangi pemeluk keyakinan lain untuk tinggal di bumi pertiwi ialah kesalahan fatal.

Apalagi, menurut ketua RT 08 Dusun Karet, itu hasil kesepatan bersama para warga untuk melarang nonmuslim tinggal sementara atau permanen. Ini bukan hanya menyalahi peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, tetapi juga mengingkari fitrah kebinekaan bangsa Indonesia.

Kebinekaan seharusnya membuat manusia saling berhubungan harmonis dan berupaya menemukan persamaan dengan saling mengakui keberbedaan satu sama lain, bukan saling menyalahkan keberagaman. Mengingat, pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komuni tas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusifitas (keterbukaan), suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka (Riyanto, 2014).

Inklusifitas ini menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Dengan cara itu, kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu masyarakat.

Bangun Jembatan

Menjadi satu bangsa yang plural di bawah naungan NKRI, seharusnya menjadi pengingat bahwa kita diikat dalam solidaritas besar agar mampu hidup bersama dengan rukun. Meskipun agama, bahasa, suku, dan ras bermacam-macam, selagi dia hidup bersama dan memiliki keinginan luhur yang sama terhadap Indonesia, maka kita adalah satu bangsa. Semua diikat untuk saling bahu-membahu menciptakan rumah bernama Indonesia yang aman, nyaman, dan tentram.

Rasa toleransi perlu ditumbuhkan dengan memahami aturan emas bahwa meski beragam agama, prinsip humanisme tetaplah sama. Agama yang hidup dalam diri menjadi penggerak individu dan kelompok pada sebuah petulangan batin yang sunyi. Selanjutnya dapat memancarkan energi positif ke dalam kehidupan. Inilah seharusnya cara memaknai bentuk keberagamaan agama yang autentik.

Agama merupakan jalan manusia untuk memahami halhal mendasar dalam hidupnya, seperti tujuan hidup, jalan kebahagiaan, atau makna kematian. Jalan itu ditempuh dalam kerangka spiritualitas, yakni dengan memberi tempat khusus yang luas bagi dunia batin manusia. Selain aspek spiritualitas, nyatanya agama juga mengusung misi kemanusiaan, yakni mencita-citakan kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi.

Dari itu, kita seharusnya menyikapi pluralitas agama tanpa menghakiminya, yang terkadang saling-silang dan bertabrakan, meski sejatinya nilai-nilainya sejalan agar semua saling mendengar, memahami dan menghormati. Jika prinsip ini diabaikan, suara bijak agama yang sarat dengan pesan kemanusiaan akan terancam tak terdengar oleh nurani karena kalah oleh keprofananan pemahaman spiritual dalam diri umat beragama.

Marilah berupaya membangun "jembatan" dari dunia kita yang tersekat agama-agama dengan toleransi. Supaya dengan begitu tercipta perasaan bahwa menjadi satu bangsa adalah menjadi satu jiwa dengan satu solidaritas besar untuk menggapai cita-cita negara secara bersama-sama.

Soekarno pernah berujar, "Negara Republik Indonesia bukan milik sesuatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke!"

Akhirnya, sudah saatnya kita mengangkat masalah pelik keagamaan dalam semangat berbangsa dan bernegara. Caranya mempromosikan nilai-nilai pluralisme tanpa ada unsur mendikte, sehingga masyarakat terdidik untuk memiliki perspektif semakin matang dan luas dalam melihat fitrah kebinekaan bangsa, serta terbiasa berdiri di ruang toleransi. Penulis Pengajar Ponpes Shiratul Fuqaha, Kudus

Komentar

Komentar
()

Top