Selasa, 19 Nov 2024, 01:30 WIB

Belanja Pemerintah Harus Produktif agar Target Pertumbuhan Bisa Tercapai

Pemerataan Pembangunan

Foto: antara

» Belanja yang bersifat konsumtif tentu tidak akan membawa ekonomi ke arah yang diharapkan.

» Pemerintah harus memperkuat tata kelola anggaran agar setiap rupiah dari utang benar- benar memberi manfaat nyata.

JAKARTA- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar utang yang ditarik disalurkan untuk belanja produktif sehingga menopang target pertumbuhan ekonomi menjadi 8 persen beberapa tahun ke depan.

Peneliti Indef, Riza Annisa Pujarama, mengatakan dengan belanja yang berkualitas dan produktif, itu akan berdampak ganda ke perekonomian nasional.

Dia pun menyoroti porsi belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif rendah, yakni hanya sebesar 7 persen. Level tersebut dinilai belum bisa memberikan daya dorong yang kuat terhadap perekonomian.

Selain menciptakan efek berganda, penggunaan utang untuk belanja produktif juga bisa memberikan pengembalian ke negara dalam bentuk penerimaan perpajakan yang tinggi.

“Makin besar belanja pemerintah yang digelontorkan maka harusnya pengembalian terhadap negara dalam bentuk penerimaan perpajakan itu harusnya bisa lebih tinggi. Tapi pada kenyataannya, rasio pajak trennya terus turun, masih di kisaran 10 persen,” katanya.

Untuk itu, dia merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengevaluasi penyaluran belanja. “Belanja perlu didorong lebih berkualitas pada sektor-sektor prioritas. Kita harus tentukan lagi prioritas pembangunan kita,” katanya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menarik pembiayaan utang sebesar 438,1 triliun rupiah hingga 31 Oktober 2024 atau setara 67,6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 648,1 triliun rupiah.

Adapun realisasi pembiayaan anggaran hingga 31 Oktober 2024 sebesar 383 triliun rupiah atau setara dengan 73,3 persen dari target APBN 522,8 triliun rupiah.

Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, menyebut langkah-langkah pembiayaan dilakukan untuk mendukung arah dan target APBN, di mana pembiayaan dikelola secara terukur dan antisipatif dengan memperhatikan outlook defisit APBN, likuiditas pemerintah, serta mencermati dinamika pasar keuangan.

Menanggapi hal itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan untuk implementasi belanja produktif dari utang membutuhkan perencanaan yang lebih matang dan menyasar sektor-sektor strategis.

Sektor strategis dan memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut di antaranya infrastruktur dasar, pendidikan, dan pengembangan industri berteknologi tinggi.

“Perencanaan ini yang jadi PR kita selama ini, bagaimana dari perencanaan sudah mengantisipasi eksekusi yang excelent,” kata Aditya saat dihubungi kemarin.

Mengenai porsi belanja pemerintah terhadap PDB hanya 7 persen, Aditya mengatakan angka tersebut memang relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang memiliki struktur ekonomi serupa.

“Namun, yang harus kita cermati bukan hanya besaran porsinya, tetapi juga efektivitasnya. Apakah belanja tersebut mampu menciptakan nilai tambah yang signifikan dan berkelanjutan? Belanja yang bersifat konsumtif tentu tidak akan membawa ekonomi ke arah yang diharapkan,” jelas Aditya.

Tantangan utama dalam memastikan belanja produktif dari utang adalah pengelolaan program yang baik dan bebas dari inefisiensi serta korupsi. Ia menilai pemerintah harus memperkuat tata kelola anggaran agar setiap rupiah dari utang benar-benar memberi manfaat nyata.

“Belanja produktif hanya akan efektif jika ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaannya. Tanpa itu, risiko pemborosan akan sangat besar,” tambahnya.

Target pertumbuhan ekonomi 8 persen memerlukan lebih dari sekadar belanja produktif. Ia menyarankan agar pemerintah juga memperhatikan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan mendorong investasi di sektor-sektor prioritas.

“Target 8 persen tidak bisa dicapai hanya dengan belanja pemerintah. Kita perlu mendorong kolaborasi antara pemerintah dan swasta, memperbaiki iklim investasi, serta memastikan kebijakan ekonomi yang stabil dan inklusif,” kata Aditya.

1731953101_1b6e8d535db9e2005c0e.jpg

Perlu Dimoratorium

Sementara itu, Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan idealnya dengan kondisi utang Indonesia saat ini yang lebih dari 7.000 triliun rupiah sudah perlu dimoratorium.

Lawatan Presiden Prabowo bisa menjadi momentum melakukan negosiasi utang, selain agenda menarik investasi. Namun demikian, dia menilai pemerintah masih enggan melakukan moratorium karena pola pengelolaan APBN saat ini justru akan menambah utang, baik utang domestik maupun luar negeri.

Untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, porsi belanja pemerintah untuk negara berkembang semestinya berkisar 15–25 persen, khusus Indonesia idealnya di angka 20–25 persen terhadap PDB.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: