Kamis, 30 Jan 2025, 01:15 WIB

Belanja Negara Harus Lebih Menyasar Sektor Produktif

YB. Suhartoko Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya - Kurangi belanja yang tidak produktif lalu perlu monitoring dan pengawasan untuk menekan kebocoran dan korupsi.

Foto: antara

JAKARTA - Instruksi Presiden yang meminta jajaran Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi anggaran harus ditindaklanjuti secara bijak oleh para menteri dan pimpinan lembaga. 

Efisiensi bukan berarti memangkas anggaran, tetapi lebih mengarahkan pembiayaan agar menyasar sektor-sektor produktif, sehingga berkontribusi lebih optimal pada ekonomi rakyat.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan, di tengah sulitnya meningkatkan penerimaan pajak dan non pajak serta kehati-hatian dalam menambah utang, nampaknya solusi mengefisienkan APBN dari sisi pengeluaran lebih tepat.

Strateginya adalah melakukan prioritasi pengeluaran, yaitu, pengeluaran yang mempunyai dampak multiplier rendah pada pertumbuhan harus dikurangi dan digeser ke pengeluaran yang lebih produktif.

“Efisiensi pengeluaran harus dilakukan, jika perlu program dan proyek bisa berbagi antar Kementerian dan Lembaga, sehingga kegiatan tidak tumpang tindih dan biaya lebih rendah,” kata Suhartoko.

Selama ini jelasnya, banyak belanja pemerintah yang hanya memboroskan anggaran, karena dampaknya ke ekonomi masyarakat banyak sangat lemah, sementara biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Dia pun mendorong agar Kementerian/Lembaga termasuk Pemerintah Daerah (Pemda) mengurangi pola belanja seperti itui karena merugikan negara dalam jangka panjang.

Begitu pula dari sisi aparat terutama birokrat, perlu meningkatkan pengawasan dan penindakan kepada mereka apabila ada penggunaan anggaran yang salah atau terjadi kebocoran akibat perilaku korupsi.

“Kurangi belanja yang tidak produktif lalu perlu monitoring dan pengawasan untuk menekan kebocoran dan korupsi,”tegasnya.

Program Populis

Pakar ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan efisiensi anggaran di 16 pos belanja kementerian/lembaga. Langkah itu dinilai belum cukup untuk mengatasi beban fiskal akibat program populis yang membutuhkan anggaran besar.

Achmad menilai penghematan anggaran harus lebih dari sekadar pemangkasan belanja perjalanan dinas atau seremonial. Tantangan utama adalah bagaimana Pemerintah membiayai program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bisa mencapai 100 triliun rupiah, swasembada pangan, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Defisit anggaran diperkirakan melebar hingga 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar 800 triliun rupiah. Sementara itu, target penerimaan pajak 2025 ditetapkan 2.189,3 triliun rupiah atau naik 13,29 persen dari tahun sebelumnya.

“Ini menandakan tekanan pajak terhadap masyarakat, terutama kelas menengah, akan semakin besar. Kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi justru paling terdampak. Jika pajak terus meningkat tanpa ada insentif, daya beli mereka akan turun dan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” kata Achmad.

Belanja pegawai pun melonjak menjadi 521,4 triliun rupiah karena bertambahnya jumlah kementerian dan pegawai, sehingga ruang fiskal semakin sempit, dan makin membatasi stimulus bagi sektor swasta dan usaha kecil.

“Efisiensi anggaran seharusnya dilakukan dengan meninjau efektivitas program populis. Pemerintah perlu memastikan bahwa alokasi dana benar-benar berdampak pada pertumbuhan ekonomi, bukan hanya membebani APBN,” katanya.

Jika kebijakan populis terus berjalan tanpa perhitungan matang, beban pajak dan fiskal akan semakin berat. Pemerintah perlu menyeimbangkan kepentingan ekonomi agar tidak hanya menguntungkan satu kelompok, tetapi juga memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: