Arif Nur Muhammad Ansori, Universitas Airlangga
Pemerintah Australia belum lama ini menginvetasikan lebih dari Rp1 triliun untuk mencegah masuknya generasi keturunan (galur) dari virus penyebab flu burung yang sangat berbahaya, yaitu H5N1 dengan klad 2.3.4.4b. Varian virus influenza tipe A ini telah menyebabkan kematian massal pada unggas di seluruh dunia, bahkan menginfeksi lebih dari 400 sapi perah di Amerika Serikat.
Australia saat ini merupakan satu-satunya benua yang masih terbebas dari infeksi H5N1 klad 2.3.4.4b. Sebelumnya, pemerintah setempat memusnahkan populasi unggas yang terinfeksi flu burung dari subtipe H7N3 dan H7N9–terdeteksi pada bulan Mei lalu di Victoria, Australia. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut ke populasi hewan lainnya.
Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah Australia berani jor-joran dalam mencegah penyebaran H5N1 klad 2.3.4.4b–yang dapat merugikan industri peternakan, mengancam kelangsungan hidup satwa liar, serta mengganggu perekonomian nasional. Sejumlah langkah pencegahan yang dilakukan, di antaranya meningkatkan pengawasan terhadap penyebaran penyakit dan burung liar, melakukan penelitian, serta menyediakan stok vaksin untuk beberapa spesies burung yang terancam punah.
Kendati penularan flu burung pada manusia jarang terjadi, pemerintah Australia bahkan mengalokasikan dana untuk pengadaan vaksin flu siap pakai guna memperkuat ketahanan kesehatan nasional.
Langkah pencegahan wabah virus ini perlu dicontoh oleh Indonesia, terutama dalam mengantisipasi perkembangan infeksi virus ke manusia (zoonosis). Hal ini bertujuan agar pemerintah tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama akibat ketidaksiapan menghadapi pandemi COVID-19 silam.
Pencegahan wabah di Indonesia
Besarnya dampak kerugian akibat kegagalan dalam mencegah COVID-19, memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia untuk tidak menganggap remeh ancaman wabah penyakit.
Karena itu, strategi pencegahan yang terencana dan berbasis data penting untuk disiapkan guna mengurangi risiko penyebaran penyakit maupun dampaknya. Pemerintah dan ilmuwan di tanah air pun sebenarnya sudah melakukan sejumlah upaya, di antaranya:
1. Memperkuat sistem pengawasan penyakit
Salah satu langkah pencegahan yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah dengan memperkuat sistem pengawasan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, seperti rotavirus dan polio. Untuk itu, Kemenkes bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berusaha meningkatkan kapasitas pengawasan penyakit di tingkat kabupaten/kota; mengadakan pelatihan untuk petugas kesehatan; serta memperluas jaringan pengawasan melalui kemitraan dengan rumah sakit dan klinik swasta.
Tidak hanya itu, Kemenkes juga meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman penyakit infeksi. Pada bulan Juni 2024, pemerintah Indonesia bersama WHO mengadakan pertemuan untuk memperkuat ketahanan menghadapi ancaman kesehatan baru dengan fokus penyakit menular yang berpotensi menjadi pandemi. Langkah penguatan ini meliputi kerja sama lintas sektor antara Kemenkes, Kementerian Pertanian, serta lembaga-lembaga terkait.
Pemerintah juga mengadakan kemitraan internasional dengan Tsinghua University dari Cina untuk meningkatkan pengembangan vaksin dan teknologi genomik di Indonesia. Hal ini bertujuan pula untuk memperkuat sistem pengawasan penyakit dan mendukung pengembangan sektor kesehatan yang lebih efektif.
2. Meningkatkan sistem pengawasan genomik
Saat ini, teknologi yang dimiliki oleh Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) Kemenkes berperan penting memperkuat kapasitas Indonesia dalam mencegah dan mengendalikan wabah penyakit lewat sistem pengawasan genomik. BGSi mengintegrasikan platform pengawasan genomik ke dalam layanan kesehatan guna memajukan kapasitas diagnostik penyakit yang lebih presisi.
Salah satu prioritas utama BGSi adalah pengendalian penyakit menular, termasuk tuberkulosis dan penyakit lainnya. Ini dilakukan melalui pengawasan genomik dengan pendekatan berbasis patogen dan genom patogen target.
Selain itu, BGSi juga berfokus pada peningkatan tes diagnostik dan pengobatan penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes, dan stroke–salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Melalui pengembangan teknologi pengawasan genomik mutakhir, BGSi juga memperkuat kemampuan diagnostik penyakit langka.
Dengan mengintegrasikan data genomik ke dalam sistem pengawasan kesehatan, BGSi tidak hanya membantu pendeteksian dini penyakit menular, tetapi juga menyediakan data yang bisa meningkatkan respons pemerintah dalam menangani ancaman wabah yang akan muncul.
3. Memperbanyak penelitian
Langkah pencegahan wabah penyakit juga dilakukan lewat bidang penelitian. Tim peneliti dari Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Universitas Airlangga (UNAIR) misalnya, meriset evolusi dan pola transmisi Human immunodeficiency virus (HIV) galur CRF01_AE–strain paling umum di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menangani peningkatan kasus HIV/AIDS di tanah air.
Hasil penelitian ini turut membantu pengembangan Indonesia Database For Genomic Information (INDAGI)–sebuah pangkalan data real-time untuk memantau mutasi dan pola penyebaran HIV–yang keberadaannya juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan upaya pencegahan penyakit di masyarakat.
Dalam penelitian tersebut, disertakan pula hasil analisis yang merekomendasikan pentingnya pengujian resistansi obat terapi HIV, antiretroviral dalam pengendalian penyakit tersebut. Hasil penelitian ini akan diserahkan kepada Kemenkes sebagai kontribusi UNAIR dalam kebijakan kesehatan.
Yang perlu dilakukan selanjutnya
Persiapan Indonesia dalam menghadapi ancaman wabah di masa mendatang jauh lebih baik karena adanya upaya penguatan pengawasan penyakit, kolaborasi lintas sektor, dan penelitian berbasis genom yang lebih luas. Namun, langkah-langkah pencegahan ini harus diterapkan di lapangan secara cepat dan efektif, guna memutus rantai penyebaran penyakit dan mencegah masuknya varian baru.
Dalam kasus flu burung misalnya, pemerintah perlu segera menggandeng ilmuwan untuk melakukan penelitian berkelanjutan terhadap virus yang menjangkiti unggas dan burung migrasi. Ini bertujuan untuk mengidentifikasi area yang berisiko tinggi tersebar virus dan mengembangkan strategi penanganannya (mitigasi).
Analisis genetik pada H5N1 juga perlu dilakukan untuk lebih memahami mutasi dan pola penyebaran virus. Hal ini akan mendukung pengembangan vaksin yang lebih efektif dalam melawan varian baru flu burung.
Interaksi antarspesies dalam ekosistem juga penting untuk diawasi guna mencegah penularan virus antarspesies.
Untuk mengendalikan wabah di awal penyebarannya, diperlukan pengembangan metode diagnostik cepat disertai program vaksinasi unggas. Guna mencegah penyebaran lebih lanjut, pemerintah perlu membuat kebijakan pengawasan ketat dan respons cepat terhadap kasus flu burung, termasuk jika terjadi penularan ke manusia.
Pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat dan peternak mengenai bahaya dan langkah mencegah penularan flu burung untuk memperkuat kesadaran dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Penanganan wabah penyakit memang membutuhkan pendekatan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan bidang kesehatan, kedokteran hewan, lingkungan, dan peternakan berbasis konsep One Health.
Pada akhirnya, pencegahan penyebaran wabah penyakit yang efektif hanya bisa diwujudkan menggunakan data berbasis riset yang mendalam. Dengan menerapkan kebijakan yang tepat berdasarkan riset yang kuat, Indonesia akan lebih siap menghadapi ancaman varian flu burung subtipe H5N1 dan risiko penyakit menular lainnya di masa depan.
Kesehatan masyarakat dan ekosistem alam pun akan terjaga sehingga bisa mengurangi dampak merugikan dari wabah penyakit menular.
Arif Nur Muhammad Ansori, Peneliti, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.