Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bebaskan Siswa Pilih Sekolah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh darju prasetya

Menjelang tahun ajaran baru 2019/2020 banyak calon siswa baru resah. Hal itu dipicu sistem zonasi yang membatasi ruang gerak memilih sekolah favorit. Bagas Pujilaksono, dosen UGM, pun protes keras dengan sistem zonasi karena anak dengan nilai paling buruk pun bisa diterima sekolah favorit hanya karena rumahnya sangat dekat. Mereka bisa menyingkirkan siswa dengan nilai sangat baik hanya karena rumahnya lebih jauh dari siswa bernilai buruk.

Gelombang protes pun seperti tak terelakkan di berbagai daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Timur. Ratusan wali murid menyampaikan aspirasi di Surabaya. Mereka menyatakan ketidakpuasan atas proses PPDB tahun ini karena dianggap tidak berkeadilan dan mengorbankan hak anak untuk bisa menentukan pilihan sekolah.

Proses seleksi PPDB Kemendikbud yang berbasis jarak sebenarnya telah mengabaikan filosofi pendidikan. Anak seharusnya yang dididik, bukan orang tuanya. Anak juga seharusnya secara merdeka bisa menentukan sekolah impiannya. Bahkan murid seharusnya bisa sekolah di mana saja sesuai dengan kemampuannya melalui nilai akademis sekolah.

Bila yang menjadi ukuran bukan nilai, namun jarak sekolah, justru akan mencederai hasil jerih payah anak. Mereka sebelumnya telah belajar keras untuk bisa mendapat nilai bagus. Namun ketika mereka akan mendaftar di sekolah pilihannya terbelenggu aturan yang membatasi ruang gerak. Sebab ukurannya jarak, bukan nilai hasil ujian nasional (UN).

Lalu apa yang akan terjadi terhadap kualitas dunia pendidikan nanti bila justru anak pintar tercederai sebuah aturan aneh dan sangat menjatuhkan sebuah nilai sportivitas? Mereka terjegal masuk sekolah favorit bukan karena bodoh, tapi lokasi sekolah jauh dari rumah.

Sistem ini tentu saja lemah karena berarti tidak mendidik. Tidak ada persaingan sehat untuk mengejar sebuah prestasi. Nilai setinggi apa pun akan kalah dengan siswa bernilai sangat buruk tapi tinggal dekata sekolah favorit.

Kalau nilai tidak dijadikan ukuran dengan mengedepankan, maka rasa bangga akan hilang. Akibatnya semakin turun minat belajar siswa agar bisa mencapai prestasi terbaik. Mereka bilang,"Untuk apa belajar keras kalau tak bisa menjamin masuk sekolah favorit." Barangkali gumaman semacam itu akan semakin banyak di tengah keluhan para orang tua murid dan calon siswa baru.

Di sebuah grup WA ada postingan keluhan orang tua siswa yang keberatan dengan sistem zonasi tahun ini. Ini akan semakin memberatkan guru karena menghadapi siswa berkualitas buruk. Padahal UN sendiri juga target agar siswa-siswanya bisa lulus dengan nilai terbaik.

Dilema ini memang seperti benang kusut yang tak mudah diurai karena kompleksitas permasalahan pendidikan. Di satu sisi, generasi bangsa harus bisa mendapat pendidikan terbaik. Di sisi lain, siswa yang baik namun tak bisa mendapat pendidikan terbaik hanya karena tak bisa memilih sekolah impian.

Minat Turun

Bila siswa tak bisa memilih sekolah impian, minat belajar bisa menurun. Hal ini akan memusingkan guru di dalam proses pembelajarannya. Sistem zonasi juga tak mengajarkan nilai berkompetisi. Padahal pada masa mendatang bangsa akan bersaing sangat ketat dengan negara lain dalam sumber daya manusia yang berkualitas.

Bagaimanapun ini perlu dikaji ulang oleh para pengampu kebijakan pendidikan terutama Mendiknas. Dia harus meninjau kembali karena banyak kelemahan dari sistem zonasi. Para pengambil kebijakan juga banyak mendengar suara dari bawah, bukan berdasarkan ego dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Dengan begitu, keresahan masyarakat tidak terus terjadi.

Pengambil kebijakan mempunyai alasan sendiri dalam sistem zonasi, namun juga jangan mengabaikan aspirasi orang tua dan calon siswa baru. Kelemahan harus segera diperbaiki untuk mendapat sebuah solusi terbaik demi kemajuan pendidikan untuk mengejar ketertinggalan. Pendidikan semakin penting untuk menyambut era persaingan global yang semakin ketat dan membutuhkan SDM amat berkualitas. SDM tidak baik hanya akan mengundang tenaga asing masuk ke berbagai sektor kehidupan bangsa.

Begitu juga semua tidak ingin sitem zonasi membawa efek negative, meskipun ada juga pendapat yang memperoleh keuntungan dari sistem yang akhir-akhir ini menjadi polemik masyarakat. Bagaimana bisa mendapat bibit generasi terbaik, bila tak ada persaingan secara sehat dalam mendapat sekolah impian?

Guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar bila tak bersemangat belajar akibat tidak bersekolah di tempat favorit. Cepat atau lambat dengan diberlakukannya sistem zonasi tentu akan menurunkan kualitas sekolah.

Sudah menjadi pandangan umum dan merupakan standar penilaian yang lebih mempunyai nilai validitas bahwa nilai UN harus bagus. UN selama ini juga bisa menjadi salah satu ukuran kualitas siswa. UN adalah nilai yang juga digunakan untuk masuk sekolah berikutnya.

Baca Juga :
Balap Motor Jalanan

Seleksi calon siswa berdasarkan nilai UN menjadi gambaran prestasi anak yang lebih bisa dipertanggungjawabkan melalui penilaian adil, terbuka, dan kredibel. Bila ada calon murid tidak bisa ditampung di sekolah negeri, pemerintah bisa mencari solusi terbaik.

Di antaranya, menyalurkan mereka ke sekolah swasta sesuai dengan pilihan dengan membebaskan biaya administrasi. Ini terutama bagi siswa dari keluarga kurang berkecukupan. Sumber masalahnya sederhana lantaran pemerintah harus membuat sistem zonasi yang membuat ruwet dengan mengorbankan kebebasan anak memilih sekolah idaman.

Biarkan siswa memilih sekolah secara bebas. Ini akan melahirkan kompetisi di antara mereka. Para murid akan terpacu belajar lebih giat guna memperoleh nilai bagus untuk menggapai sekolah yang menjadi favoritnya. Penulis Guru SMP N 1 Jatirogo-Tuban, Jawa Timur

Komentar

Komentar
()

Top