Bansos Belum Cukup Memadai bagi Pengentasan Kemiskinan
Foto: Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES» Perlu program agar penduduk miskin lebih tahan/ resilien terhadap gejolakgejolak ekonomi.
» Produktivitas rumah tangga miskin harus diperkuat, baik modal intelektual, institusional, dan material.
JAKARTA - Target pemerintah untuk mengurangi kemiskinan ekstrem pada 2024 dinilai sebagai program yang sangat baik, namun niat tersebut belum bisa direalisasikan hanya dengan mengandalkan program yang ada saat ini terutama perlindungan sosial.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta saat menghadiri forum silaturrahim ulama di Makassar, akhir pekan lalu, mengatakan kemiskinan ekstrem diharapkan dapat dikurangi atau ditekan secara maksimal pada 2024.
"Untuk mencapai itu, pemerintah hadir dan berkomitmen mengurangi kesenjangan antara masyarakat mampu dengan mereka yang masih harus didukung daya belinya," kata Airlangga.
Berkaitan dengan hal itu, program perlindungan sosial diberikan pemerintah, antara lain Program Bantuan Tunai- Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan (BTPKLWN) kepada sekitar 2,7 juta penerima diutamakan untuk masyarakat pada 212 kabupaten/kota yang menjadi prioritas dalam Program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem (P2KE).
Selain itu, jelas Airlangga, untuk mendukung ekonomi umat, khusus ekonomi pondok pesantren, pemerintah juga sudah menyiapkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Super Mikro dan Mikro. Plafon KUR secara keseluruhan telah ditingkatkan menjadi sebesar 373,17 triliun rupiah pada 2022.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, yang diminta pendapatnya, mengatakan setidaknya ada tiga catatan penting kalau ingin mewujudkan tekad tersebut. Pertama, kemiskinan tidak cukup dijawab hanya dengan skema-skema bantuan seperti bantuan sosial (bansos) yang hanya menaikkan daya beli sementara.
Faktor struktural penyebab kemiskinan juga harus diatasi seperti ketimpangan akses, ekonomi, dan sosial. Kedua, sebaran lokasi spasialnya luas di mana strategi yang ditempuh tidak selalu bisa seragam, namun harus memperhatikan kondisi/karakteristik lokasi di mana penduduk miskin ekstrem berada.
"Terakhir, semestinya target tidak hanya menekan angka jadi nol, tetapi juga memampukan penduduk miskin ini agar lebih tahan/resilien terhadap gejolak-gejolak ekonomi yang mendadak dan berdampak luas," kata Aloysius.
Masyarakat Perdesaan
Pakar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan kesenjangan memerlukan upaya pemerataan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat miskin yang jumlahnya cukup besar di perdesaan.
"Perlu membangun fondasi sosial utama, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat miskin sebagai modal utama berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi, terutama masyarakat desa," kata Bagong.
Penguatan, jelas Bagong, harus menyasar mata pencarian masyarakat desa. Pertanian harus lebih memiliki ruang untuk berkembang, dengan melindungi mereka dari produk impor.
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendi Manilet, mengatakan langkah kebijakan untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem akan bergantung pada ketetapatan data pemerintah, kolaborasi kebijakan antarkementerian/lembaga (K/L), hingga intervensi kebijakan.
Untuk data misalnya, pemerintah seharusnya rutin melakukan pengkinian data terutama di daerah karena terkait dengan kolaborasi kebijakan K/L.
"Penciptaan lapangan kerja juga menjadi esensial sebagai salah satu strategi dalam menurunkan jumlah penduduk miskin bukan bergantung pada bantuan sosial saja," kata Rendi.
Dari Yogyakarta, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan langkah konkret menurunkan kemiskinan ekstrem ialah dengan meningkatkan kapasitas dan produktivitas rumah tangga miskin melalui penguatan modal baik modal intelektual (pelatihan, pendampingan), modal institusional (organisasi), dan material (teknologi tepat guna, lahan, finansial) di sektor-sektor basis.
Hal itu dilakukan dengan cara melibatkan peran serta multipihak (hexa helix) dalam suatu gerakan bersama. Di samping itu, perlindungan sosial bagi rumah tangga miskin bisa melalui berbagai skema jaminan hidup, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Meminta TNI dan Polri Hindarkan Indonesia jadi Negara yang Gagal
- 2 Rilis Poster Baru, Film Horor Pabrik Gula Akan Tayang Lebaran 2025
- 3 Lestari Moerdijat: Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Inklusif Harus Segera Diwujudkan
- 4 Tayang 6 Februari 2025, Film Petaka Gunung Gede Angkat Kisah Nyata yang Sempat Viral
- 5 Majukan Ekosistem Digital Indonesia, Diperlukan Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat
Berita Terkini
- Mantap! DPR Setujui Naturalisasi Romeny, Geypens, dan Markx
- Dukung Ketahanan Pangan, Pemkot Bengkulu Usulkan 15 Ton Benih Padi
- Pemprov DKI: Beli Elpiji 3 Kg Pakai KTP untuk Antisipasi Penyalahgunaan
- Pengecer Minta Pertamina Beri Harga Khusus Gas 3 Kg agar Tetap Untung
- Warga di Gandaria Selatan Rela Antre Berjam-jam Demi Dapatkan Elpiji 3 kg