Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Utang I Aparat Hukum Harus Berani Mengungkap Kembali Korupsi BLBI

Bank Rekap Banyak Boroskan Kredit ke Sektor Properti dan Barang Impor

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Dana dari APBN untuk bayar obligasi rekap habis ke sektor konsumsi, bukan produktif.

» Bunga obligasi rekap sebagian digunakan penerima memperkaya diri dan kelompoknya.

JAKARTA - Upaya pemerintah menalangi permodalan 37 bank peserta rekap akibat krisis moneter 1998 lalu patut disayangkan. Dengan menempatkan obligasi rekapitalisasi (obligasi rekap) senilai 430,4 triliun rupiah sepanjang 1999-2000, pemerintah berkewajiban membayar bunga dari surat utang yang diterbitkan itu setiap tahun hingga 2043 mendatang.

Pengorbanan pemerintah dan rakyat yang harus membayar bunga ke bank penerima itu bukannya dimanfaatkan dengan baik oleh jajaran pemilik dan pengurus atau manajemen bank, tetapi malah ada yang disalahgunakan. Sekalipun mereka sudah memupuk modal dari penerimaan bunga dari negara, bank-bank dalam menjalankan fungsi intermediasi lebih banyak memboroskan kredit ke sektor properti dan konsumsi barang impor.

Modal yang diterima dari keuangan negara bukannya untuk membiayai sektor produktif, melainkan habis digunakan untuk membiayai sektor konsumtif seperti properti yang sarat dengan aksi spekulan dan menimbulkan bubble ekonomi atau gelembung ekonomi.

Pembiayaan ke sektor properti tercatat sebesar 1.200 triliun rupiah. Selain ke properti, pembiayaan bank-bank rekap juga ditujukan untuk kredit konsumsi barang-barang impor yang nilainya sudah mencapai 2.300 triliun rupiah.

Anggota Satgas BLBI DPD RI, Abdul Hakim, saat diminta tanggapannya dari Jakarta, Rabu (20/4), mengatakan bank-bank penerima obligasi rekap tidak hanya merugikan keuangan negara karena memperoleh pembayaran bunga, namun juga sebagai jantung perekonomian, bank-bank keliru dalam mengalirkan likuiditas.

Kredit bank penerima lebih banyak menyasar sektor-sektor nonproduktif, terutama ke debitur-debitur konglomerat yang merupakan kroni dari kekuasaan.

Menurut Hakim, bank-bank yang sudah nyaris kolaps pada 1998-1999 lalu sebenarnya ditolong oleh akal-akalan akuntansi IMF. Sebab itu, seharusnya bank-bank yang sudah mendapat suntikan modal tersebut bekerja untuk rakyat.

"Namun nyatanya, kalau kita buka outstanding kredit bank-bank penerima rekap itu, masih saja jor-joran di sektor properti besar dan konsumsi barang-barang impor, seperti pangan dan mobil," papar Hakim.

Menurutnya, bank-bank penerima rekap itu benar-benar tidak tahu diuntung karena sudah diselamatkan rakyat, namun giliran sudah mulai sehat malah meninggalkan rakyat.

"Sektor-sektor produktif rakyat seperti UMKM pinggir jalan malah banyak mendapat pinjaman dari financial technology yang berbunga tinggi. Pertanian, peternakan, dan perikanan rakyat masih sulit mengakses kredit. Pertanian bahkan di saat panen malah dibanjiri pangan impor. Kalau begini terus, negara kita makin gemuk di atas, sementara di bawah makan pun susah. Jika sektor konsumsi ambruk, siapa lagi nanti yang akan menolong? Duit rakyat lagi. Ini jahat sekali," papar Abdul Hakim.

Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan meskipun kasusnya terjadi cukup lama, aparat penegak hukum harus tetap mengusut dugaan korupsi kasus BLBI agar kepercayaan dan dukungan masyarakat akan tumbuh.

"Kasus BLBI sudah cukup lama mengambang, dan tentu sebagian besar masyarakat berharap ada kelanjutan pengusutannya. Apalagi dari sisi ekonomi dampak kerugiannya sangat besar, menghasilkan utang menumpuk yang mempengaruhi jalannya pembangunan. Pengusutan pada oknum-oknum kakap yang membangkrutkan negara ini akan menunjukkan bahwa KPK masih berpihak pada rakyat yang selalu mendambakan keadilan," kata Suparto.

Memperkaya Diri

Pengamat Ekonomi, Mamit Setiawan, dalam kesempatan terpisah menyayangkan penyaluran kredit bank yang mayoritas ke properti dan barang impor. "Kalau disalurkan ke sektor produktif, tentu mendorong pertumbuhan ekonomi dan manfaatnya dirasakan banyak orang.

Dia menuding dana obligasi rekap itu sebagian digunakan pihak penerima untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, padahal semestinya tidak seperti itu.

Dari awal, jelasnya, obligasi rekap itu sudah salah perencanaan.

"Saya kira ini menjadi pembelajaran seharusnya agar lebih berhati-hati memberi bantuan kepada perbankan," pungkas Mamit.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top