Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Banalitas Agama dan Pancasila

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Sumiati Anastasia

Entahlah belakangan ini marak lagi kasus kekerasan atas nama agama. Belum tuntas kasus baksos gereja di Bantul yang dibubarkan kelompok intoleran beberapa waktu lalu, pada Minggu (11/2) terjadi penyerangan di Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Seperti terlihat pada video yang viral di media sosial, seorang pemuda yang menghunuskan pedang mengamuk di tengah misa sambil membabat patung Bunda Maria, melukai pastor Emund K Prier SJ yang pemimpin misa dan 4 umat. Padahal misa adalah ritual yang paling disucikan oleh umat Katolik.

Kekerasan atas tokoh agama seperti itu hanyalah repetisi. Beberapa waktu lalu, di Cicalengka, Bandung, pengasuh pesantren Kyai Umar Basri diserang seseorang sehabis subuh. Di Lebak Tangerang, seorang bikshu dipaksa segerombolan orang dari ormas intoleran agar tidak melayani umat Buddha yang datang ke rumahnya.

Kita tidak tahu apa motif orang-orang tersebut, termasuk para penyerang pastor atau kyai. Namun, bijak jika masyarakat tidak mau diprovokasi. Uskup Agung Semarang, Mgr Rubyatmoko Pr, juga berpesan agar umat tetap tenang, jangan mau diadu dengan pemerintah (Perspektif Koran Jakarta, 12/2). Boleh jadi, semua kekerasan itu merupakan agenda untuk mendiskreditklan pemerintah Jokowi menjelang Pilpres 2019.

Namun, lepas dari hal tersebut, ada yang menilai, kekerasan bernuansa agama terjadi karena kian maraknya radikalisme. Dalam kajian agama, radikalisme merupakan reaksi atas modernitas. Lalu sebagian penganut agama membuat kubu eksklusif. Yang berbeda dianggap sesat dan bebas untuk diserang, bahkan dibunuh. Ini berlaku bukan untuk yang beragama lain. Yang seagama pun, tapi berbeda mazhab dan penafsiran, juga bisa menjadi sasaran kebencian.

Meski radikalisme kerap menggiring orang untuk menghayati agama menurut ajaran awal dan dianggap asli, para pengikut radikalisme sering terjebak dalam banalitas atau pendangkalan agama karena penafsiran keagamaan mereka. Yang hakiki seperti cinta kepada sesama, kebenaran, dan kejujuran serta perbedaan itu indah, hanya menjadi slogan karena jebakan banalitas. Orang pun menjadi tidak waras, bahkan menjadi seperti "orang mabuk" agama.

Banalitas Agama

Menurut Yasraf Amir Piliang, semua ruang atau bidang kehidupan, termasuk agama, sudah dipenuhi berbagai strategi populer yang mendangkalkan kehidupan, termasuk kehidupan beragama. Banalitas agama, misalnya, telah menciptakan ruang-ruang keagamaan yang berbaur dengan budaya populer dan gaya hidup. Banalitas agama cenderung merayakan aspek-aspek artifisial agama dan meminggirkakan yang hakiki dari agama. Agama hanya dihayati kulitnya.

Banalitas seperti itu jelas mudah menggiring orang untuk berpikir sempit. Teks-teks agama yang memihak kepada kemanusiaan, pluralitas atau perbedaaan, justru dipersempit atau ditiadakan. Memedihkan hati, manakala kita merenungkan bahwa di hari-hari ini orang bisa dengan mudah merusak tempat ibadah orang yang beragama atau berkeyakinan lain atau saling bunuh atas nama agama.

Bahkan yang mengerikan, suara-suara bising penuh amarah pada umat beragama atau berkeyakinan lain, kerap disuarakan justru oleh para tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan. Pesan kebaikan bahwa kita semua sesungguhnya saudara dalam satu kemanusiaan yang sama, jarang terdengarkan lagi. Agama justru diselewengkan lewat penafsiran banal sehingga menjadi sumber perpecahan. Bukan rahmat Allah yang dibagikan, tetapi kekerasan, anarkisme, intoleransi dan laknat bagi sesama (meminjam istilah Ketua Umum PBNU KH Agil Siradj).

Akibatnya, tempat ibadah pun jatuh menjadi seperti "pasar malam" untuk menyebarkan kebencian pada pihak lain. Surga dijual murah di tangan para pengkotbah yang menyebarkan kebencian (meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla). Malah kebencian pada umat beragama lain kerap disertai dengan legitimasi seolah-olah hal itu merupakan kehendak Allah sendiri. Bahkan nama Allah pun hendak diklaim sebagai milik dari golongannya sendiri. Seolah Sang Pencipta bisa dikendalikan oleh manusia. Ini jelas amat banal.

Boleh jadi, agama-agama tengah memasuki daerah yang sangat kering baik sebagai personal concern maupun communal community. Akar masalahnya, agama-agama lebih banyak memberi perhatian pada hal-hal yang artifisial, jauh dari komitmen awal dan sejati sebagai sarana humanisasi. Begitu banyak praktik agama yang justru merendahkan martabat manusia maupun agama seperti kekerasan, intoleransi, konflik bahkan perang. Bukan kebaikan yang dilakukan, tapi keburukan, seperti melukai bahkan membunuh orang lain.

Padahal sebagaimana dianjurkan Alquran, penganut agama seharusnya berlomba-lomba berbuat kebaikan dalam menyikapi perbedaan, khususnya perbedaan agama. "Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan" (QS Al Baqarah : 148). Pesan-pesan kebaikan dan kebajikan ini juga ada di banyak Kitab Suci lain, seperti Injil. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya.

Pancasila

Lalu sebagai sesama warga bangsa negeri bernama Indonesia? Mari mengingat bahwa Indonesia bukanlah negara teokrasi, meski juga bukan sekuler. Mari kembali ke nilai-nilai Pancasila. Gesekan atau konflik antarumat beragama, sebenarnya muncul karena kita melupakan Pancasila.

Padahal sebagaimana digagas para pendiri bangsa, Pancasila adalah acuan utama untuk penyelenggaran hidup berbangsa dan bernegara sesuai dengan karakter kemajemukan bangsa. Atau setidaknya Pancasila bisa dijadikan jalan tengah dalam perbedaan dan keragaman.

Jangan lupa, setiap bentuk kekerasan seperti melukai, apalagi membunuh jelas bertentangan dengan ajaran Tuhan mana pun (Sila I) atau prinsip kemanusiaan (Sila II). Sayang, kedua sila ini tampaknya tidak tertanam lagi di dalam jiwa raga sebagian anak bangsa. Akibatnya, orang dengan mudah dirasuki jiwa kebinatangan, sehingga dengan gampang membuat yang lain terluka atau bahkan nyawa sesama melayang atas nama rebutan klaim kebenaran. Akal sehat menjadi mati, seiring berkobarnya amarah dan kebencian pada pihak lain.

Pancasila pun menjadi melemah dan tidak sakti karena para pejabat atau aparat yang seharusnya mengayomi semua golongan, lebih suka mengayomi jabatan dan kelompoknya sendiri. Maka, selama hukum yang menjadi aturan bersama tidak ditegakkan, ancaman kekerasan, termasuk atas nama agama masih dengan mudah terulang. Pelaku kekerasan atau pembunuhan nyawa, apalagi yang dilakukan oleh penganut agama apa pun, harus dihukum berat.

Penulis Lulusan University of Birmingham

Komentar

Komentar
()

Top