Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Baksos Bantul dan Toleransi Nabi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Pertama-tama perlu ditegaskan, sebenarnya secara umum, relasi antara umat beragama di negeri ini relatif cukup harmonis. Bahkan kadang ada apresiasi dari kalangan di luar negeri. Namun secara kasuistik, memang ada sejumlah kejadian yang mengusik ketenteraman hidup bersama. Misalnya, sebagaimana baru terjadi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogjakarta.

Di media sosial, seperti Facebook, kasus ini sempat viral dan menjadi sorotan. Banyak umat atau tokoh Islam seperti Sumanto Al Qurtuby dan Hasanudin Abdurakhman menyayangkan pelarangan bakti sosial (baksos) itu oleh ormas Islam. Kedua tokoh yang dikenal memiliki banyak pengikut itu juga tidak yakin akan adanya kristenisasi. Hasanudin Abdurakhman, malah menulis postingan tentang pemasangan listrik bagi orang Badui yang mualaf serta membawa bendera PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Seperti diketahui, pada 28 Januari 2018 lalu, sejumlah pemuda masjid dan organisasi kemasyarakat yang mengatasnamakan Islam mendatangi acara baksos yang akan digelar Gereja Katolik Santo Paulus, Pringgolayan, Banguntapan, Kabupaten Bantul. Rencana kegiatan itu merupakan rangkaian peringatan 32 tahun berdirinya gereja sekaligus peresmian dari paroki administratif menjadi paroki mandiri.

Ormas yang mendatangi rencana baksos tersebut antara lain Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia. Mereka menolak baksos dengan alasan kristenisasi dan minta panitia gereja memindahkan kegiatan itu di gereja.

Tentu saja pihak Gereja Katolik menolak tudingan kristenisasi itu. Ketua Konferensi Wajigereja Indonesia sekaligus Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo mengatakan, tudingan bahwa kegiatan baksos diGerejaSanto Paulus di Bantul, Yogyakarta merupakan bentuk kristenisasi adalah tidak benar. Menurut Suharyo, kristenisasi bagi Gereja Katolik sudah masa lalu atau usang.

Pro kontra baksos kian memanas, setelah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono Xminta agar setiap baksos tidak membawa nama gereja. Sedangkan Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Sahat M Hasibuanmenilai, penolakan baksos oleh ormas itu terjadi karena kurangnya komunikasi dari gereja dengan masyarakat. SetaraInstitute menyayangkan pernyataan keduanya. Sebab pernyataan Sultan dan Kapolres dinilai justru menyalahkan korban (blaming the victim).

Sebenarnya, kerukunan antarumat beragama di Bantul pada khususnya dan DIY umumnya cukup baik. Mereka bisa saling menerima keberagaman. Memang khusus di Kota Yogyakarta, indeks toleransinya tergolong rendah di antara 94 kota di Indonesia sebagaimana hasil kajian Setara Institute 2017 lalu.

Rendahnya indeks toleransi di Yogyakarta tidak lepas dari keberadaan ormas keagamaan intoleran. Ormas demikian memang berbeda dengan ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah yang dikenal amat toleran dan menghargai perbedaan. Bahkan di berbagai tempat Indonesia, kedua ormas ini biasa menggelar acara bersama dengan kalangan Gereja baik Katolik maupun Kristen Protestan.

Maka, guna meminimalkan gesekan, sungguh bijaksana imbauan MUI, agar ke depan, Gereja setiap hendak menggelar acara seperti baksos lebih baik menggandeng umat Islam, termasuk tentu saja ormas yang toleran. Kita tahu belum lama ini, seperti pada saat Natal 25 Desember 2017, misalnya, banyak umat Islam, termasuk beberapa ormas Islam dengan tulus dan senang hati ikut menjaga perayaan Natal sebagaimana di gereja-gereja di Maluku.

Harus diakui, baksos di Bantul itu tidak akan jadi ramai, jika tidak ada ormas yang sejak awal sudah punya prasangka kristenisasi. Padahal ormas besar Islam seperti NU sudah tidak punya prasangka demikian.

Keberadaan ormas yang intoleran merupakan akar yang mengganggu kerukunan antarumat beragama negeri ini. Sebab secara tradisional, hubungan antarumat beragama di DIY justru harmonis. Namun seiring datangnya paham radikal pascakejatuhan Soeharto 1998, kerukunan dan toleransi itu perlahan-lahan kian terganggu. Jadi masalahnya ada pada ormas ormas intoleran. Mahasiswa pendatang yang radikal dan intoleran juga menjadi sumber intoleransi di Yogyakarta yang semakin menjadi-jadi.

Bukan rahasia lagi, ormas yang sudah disusupi paham radikal amat pandai memperalat agama untuk hal-hal tidak terpuji. Mereka sering membuat onar seperti melarang kebaktikan, mendemo pembangunan gedung gereja hingga berlaku anarkis.

Berbagai Kepentingan

Lagi pula di negeri ini, agama bisa diperalat untuk kepentingan apa pun. Ada yang untuk mencari untung pribadi seperti penipuan beberapa biro perjalan umrah atau kasus Dhimas Kanjeng. Demi pilkada pun, agama bisa diperalat menjadi kendaraan politik sebagaimana Pilkada Jakarta.

Konyolnya, jika ormas intoleran atau kaum radikal bisa mempengaruhi pejabat negara seperti gubernur, wali kota atau bupati. Akibatnya Indonesia yang beragam dan bersendikan UUD 1945 dan Pancasila, perlahan-lahan digerogoti. Kerukunan dan harmoni umat beragama pun terganggu. Ujung-ujungnya, agama yang membawa pesan kesejukan dan kedamaian, terdegradasi.

Memang ormas-ormas intoleran yang berpaham eksklusif akan terus mencari legitimasi teologis dari pembedaan yang selalu mereka suarakan. Mereka gemar mengadakan pembedaan tajam dengan orang di luar kelompok mereka. Mereka merasa memiliki hak-hak istimewa sehingga bisa menghapus hak-hak orang di luar kelompok.

Padahal kalau menengok kehidupan nabi Muhammad, junjungan umat Islam termasuk kaum radikalnya, selalu penuh toleransi dan penghargaan pada agama lain, khususnya Kristen. Saya pernah membaca surat jaminan kebebasan beragama dari nabi Muhammad, berangka tahun 628 yang masih disimpan di biara Santa Katarina di Sinai. Tampaknya banyak yang belum tahu surat jaminan yang melarang gereja dibakar atau umat Kristiani diganggu.

Ketika terjadi keributan antara kaum muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Nabi Muhmmmad juga menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah guna mewujudkan kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Pada Pasal 16 tertulis, "Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang."

Baca Juga :
Letusan Semeru

Mengacu pada teladan toleransi nabi tersebut, sesungguhnya memprihatinkan jika di negeri ini acara baksos saja dicurigai sebagai kristenisasi. Apalagi Hasil Konsili Vatikan II (Ad Gentes/Kepada Bangsa-Bangsa) menegaskan, Gereja melarang keras pemaksaan orang agar memeluk Kristen dengan berbagai siasat, bujuk rayu, atau dipikat dengan cara apa pun. Menjadi Kristen, tidak mudah, orang harus diselidiki dulu motifnya (AG13, Perspektif, Koran Jakarta 2/1).

Mau jadi Katolik, prosesnya juga panjang dan cukup pelik. Seseorang harus mengikuti pelajaran tiap Minggu dan ikut beberapa tahapan prakatekumen, katekumen selama setahun lebih dan bisa saja ditolak, kalau ada motif yang tidak benar.

Lagi pula soal tudingan kristenisasi, sebenarnya juga merendahkan umat Islam sendiri. Ini memberi pengertian, orang mudah pindah agama hanya karena bantuan sembako. Orang pindah agama karena alasan-alasan yang sangat pribadi. Semoga kasus baksos ini membawa hikmah dan kesadaran arti hidup bersama, tanpa saling curiga. Mari saling menghargai dan tolong-menolong.

Penulis Lulusan University of Birmingham

Komentar

Komentar
()

Top