Ayo Bantu Atasi Pemanasan Global, Bencana Iklim Sebabkan Kerugian Luar Biasa Banyaknya di Tahun 2024
Ilustrasi - Pj Gubernur Jatim Adhy Karyono (kedua kanan) saat meninjau banjir di Kabupaten Sidoarjo, Kamis (26/12/2024).
Foto: ANTARA/HO-Biro Adpim JatimBERLIN - Raksasa reasuransi Jerman, Munich Re pada hari Kamis (9/1), mengatakan, perubahan iklim memicu bencana alam yang mengakibatkan kerugian sebesar 320 miliar dollar AS tahun lalu, memperingatkan "mesin cuaca planet kita sedang beralih ke gigi yang lebih tinggi".
Dikutip dari Barron, jumlah kerugian yang diasuransikan mencapai total 140 miliar dollar AS (136 miliar euro) selama 12 bulan terakhir, menjadikan tahun 2024 sebagai total tertinggi ketiga sejak tahun 1980, kata Munich Re dalam sebuah laporan.
Temuan tersebut menggemakan angka serupa dari Swiss Re, pemimpin industri reasuransi lainnya, yang menghitung kerugian keseluruhan sekitar 310 miliar dollar AS, yang 135 miliar dollar AS di antaranya diasuransikan.
- Baca Juga: Junta Lancarkan Serangan Udara selama Sepekan
- Baca Juga: WHO: Infeksi HMPV Meningkat di Tiongkok
Tahun lalu hampir pasti akan tercatat sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat dan yang pertama yang suhunya 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit) lebih panas daripada sebelum revolusi industri, ambang batas kritis yang ditetapkan dalam perjanjian Paris 2015 tentang penanggulangan perubahan iklim.
"Mesin cuaca planet kita sedang beralih ke gigi yang lebih tinggi," kata Tobias Grimm, kepala ilmuwan iklim di Munich Re.
"Semua orang membayar harga atas memburuknya cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim," tambah Grimm, seraya mencatat beban paling berat ditanggung orang-orang di negara-negara dengan sedikit perlindungan asuransi atau dukungan dana publik untuk membantu pemulihan.
Perkuat Ketahanan
Grimm mengatakan masyarakat global akhirnya harus mengambil tindakan dan menemukan cara untuk memperkuat ketahanan semua negara, terutama negara-negara yang paling rentan.
Munich Re mengatakan kerugian keseluruhan dan yang diasuransikan pada tahun 2024 jauh di atas rata-rata acuan dalam 10 dan 30 tahun terakhir.
Jumlahnya luar biasa tinggi karena "kombinasi bencana besar yang jarang terjadi, seperti gempa bumi dan badai, dan kejadian yang lebih sering terjadi, seperti hujan es, banjir lokal, dan kebakaran hutan," kata Grimm.
"Fenomena ini khususnya meningkat dalam intensitas dan frekuensi selama bertahun-tahun," katanya.
Bencana cuaca menjadi penyebab 93 persen dari keseluruhan kerugian, karena serangkaian badai melanda daerah tropis, menurut perhitungan Munich Re.
Siklon saja mengakibatkan kerugian sebesar 135 miliar dollar AS, yang sebagian besarnya tercatat di Amerika Serikat, yang dilanda serangkaian badai dahsyat.
Badai Helene dan Milton, yang menerjang wilayah tenggara Amerika Serikat secara berurutan pada bulan September dan Oktober, merupakan dua bencana yang paling merugikan tahun ini.
Helene mengakibatkan kerugian sebesar 56 miliar dollar AS, menyebabkan banjir hingga ke pedalaman AS dan menewaskan lebih dari 200 orang.
Sementara itu di Eropa, kawasan sekitar Valencia di Spanyol menyaksikan bencana paling serius di benua itu, dengan lebih dari 200 orang tewas dan menyebabkan kerugian 11 miliar dollar AS.
Sebuah studi atribusi banjir di Spanyol menunjukkan perubahan iklim telah melipatgandakan kemungkinan terjadinya presipitasi seperti yang terjadi di sekitar Valencia, kata Grimm.
Wilayah tersebut menerima curah hujan sekitar 500 milimeter (20 inci) dalam satu hari di bulan Oktober, sama banyaknya dengan curah hujan yang biasanya dialami wilayah tersebut dalam setahun penuh, kata Munich Re.
Secara total, sekitar 11.000 orang kehilangan nyawa akibat bencana alam pada tahun 2024, jumlah korban yang besar namun lebih rendah dari rata-rata, kata Munich Re.
Badai paling mematikan tahun ini adalah Topan Yagi, yang melanda Filipina hingga daratan Tiongkok, menewaskan sekitar 850 orang dan menyebabkan kerugian total sebesar 14 miliar dollar AS.
"Di negara-negara berkembang, kurangnya infrastruktur dan peraturan bangunan yang tidak memadai memperparah kerugian manusia dan material," kata Grimm.
Masalah lainnya adalah kesenjangan cakupan di area tersebut, yang salah satu solusinya adalah apa yang disebut asuransi parametrik, kata Grimm.
"Parameter yang ditentukan, seperti kekuatan angin, memungkinkan kompensasi cepat setelah badai, tanpa perlu membuktikan kerusakan individual," katanya.
Berita Trending
- 1 Pemerintah Percepat Pembangunan Sekolah Rakyat
- 2 TNI AD Telah Bangun 3.300 Titik Air Bersih di Seluruh Indonesia
- 3 Athletic Bilbao dan Barca Perebutkan Tiket Final
- 4 Program Makan Bergizi Gratis Harus Didanai Sepenuhnya Dari APBN/D
- 5 DJP Kalselteng Capai Target Penerimaan Pajak Empat Tahun Berturut-turut
Berita Terkini
- Kemlu Bentuk Ditjen Baru, Diplomasi Ekonomi RI Kini Lebih Strategis dan Terpadu
- Presiden Prabowo Bentuk Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi, Ini Struktur Kepengurusannya
- Cegah Penurunan Tanah di Jakarta Makin Parah, Menteri PU Akan Lakukan Ini
- Berlangsung Hikmat, Kejati Jateng Gelar Ibadah Natal dan Tahun Baru 2025
- 2024 Tahun Terpanas di Dunia, Suhu Meningkat Lebih dari 1,5°C untuk Pertama Kalinya