Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Aturan Keselamatan di Laut

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Siswanto Rusdi

Belakangan terjadi kecelakaan kapal seperti kandasnya KM Lestari Maju di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, dan tenggelamnya KM Sinar Bangun ke dasar Danau Toba. Setiap kecelakaan kapal terjadi, semua mengharap itu yang terakhir. Kecelakaan kapal akan terus berulang, bila tanpa perbaikan serius.

Jumlah korban berbanding lurus dengan kelengkapan pendukung pelayaran. Kecelakaan kapal mengangkat isu kapal ber-SOLAS dan non-SOLAS serta implementasinya. The International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) disahkan untuk pertama kalinya pada 1914. Ini dua tahun setelah kecelakaan yang menimpa RMS Titanic di Samudera Atlantik Utara 15 April 1912. Sejak itu, SOLAS terus disesuaikan dengan perkembangan teknologi maritim.

Dari sudut pandang filosofi, dipilihnya kata safety of life atau keselamatan jiwa sebagai kata kunci dalam SOLAS (bukan keselamatan pelayaran seperti yang selama ini dipahami publik) karena laut/air bukanlah habitat manusia. Siapa pun dan sekuat apa pun manusianya jika ke laut akan tenggelam dan kehilangan nyawa, kecuali menggunakan alat apung dalam bentuk life jacket, life raft, boat, vessel atau ship.

SOLAS berisi berbagai aturan seperti standar minimum keselamatan konstruksi, peralatan dan pengoperasian kapal sebagai alat angkut. Hanya kapal perang dan yang beroperasi di daerah tertentu (misalnya di Great Lakes di Amerika Utara) dikecualikan dari standar tersebut.

Negara bendera memiliki tanggung jawab terhadap penerapan atauran keselamatan ini bagi kapal-kapal yang berlayar menggunakan benderanya. Ini dibuktikan dengan berbagai sertifikat keselamatan kapal. Di Indonesia, penerapan SOLAS didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) No 65 Tahun 1980 tentang Mengesahkan "International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 yang Ditandatangani Delegasi Pemerintah Republik Indonesia di London pada Tanggal 11 Nopember 1974. Ini merupakan pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea 1960."

Kementerian Perhubungan menetapkan SOLAS hanya diterapkan terhadap kapal-kapal yang bertonase mulai dari 500 gross ton (GT) dan melayari perairan internasional. Sementara itu, kapal-kapal dengan bobot hingga 500 GT yang berlayar di perairan domestik maupun internasional tidak diwajibkan mengikuti aturan SOLAS. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain kapal yang digerakkan tenaga mekanis, kapal kayu, kapal penangkap ikan, dan kapal pesiar.

Mencermati pemberitaan seputar tenggelammnya kapal belakangan, kecuali KM Lestari Maju, yang nahas tidak termasuk kapal SOLAS. Persoalan sejatinya tidak terletak pada kedua kapal tadi berkategori SOLAS atau non-SOLAS. Center of gravity-nya ada pada internalisasi spirit mengutamakan keselamatan jiwa di laut oleh pemerintah, berapa pun tonase dan daerah layar sebuah kapal.

Harus diakui, spirit ini ternyata jauh dari cukup. Coba perhatikan ritual ramp check terhadap kapal-kapal yang dipakai mudik setiap tahun. Objeknya selalu kapal-kapal di pelabuhan-pelabuhan besar.

Dimensi Besar

Kapal-kapal yang diperiksa umumnya berdimensi besar. Makanya, menerapkan SOLAS sehingga kelaikan melaut cukup terawat. Ramp check hanya untuk lebih memastikan kondisi layak. Sulit menemukan berita ramp check dilakukan terhadap kapal-kapal non-SOLAS di pelabuhan-pelabuhan kecil oleh pejabat-pejabat senior Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Tak terdengar mereka mewanti-wanti syahbandar agar tegas. Yang paling penting, pejabat tinggi memberi instruksi kepada syahbandar setempat agar menyediakan life jacket dan membagikannya kepada operator kapal-kapal non-SOLAS yang biasanya kapal tradisional. Bahkan penangkap ikan untuk dipakai oleh penumpang begitu mereka menaiki kapal.

Publik di daerah pelosok jauh lebih memerlukan kehadiran dan perhatian para pejabat Kemenhub/Ditjen Hubla karena kapal-kapal tradisional yang menjadi moda transportasi sehari-hari amat rawan. Ini mulai dari aspek fisik kapal seperti stabilitas, material, kelistrikan, hingga pengoperasian/pengawakan.

Kebanyakan awak kapal menjalankan hanya berdasarkan tradisi, hampir tanpa pendidikan formal sebagai ABK. Tingginya tingkat kerawanan kapal-kapal non-SOLAS atau tradisional dapat dilihat dari data berikut. Hingga Juni 2018, telah terjadi 34 kecelakaan kapal dengan jumlah korban tewas 71. Sebanyak 66 yang tewas di antaranya merupakan penumpang kapal di bawah 500 GT.

Kendati tidak merujuk pada SOLAS, Kemenhub sebetulnya sudah menyusun sebuah standar untuk kapal-kapal tradisional atau yang berbobot di bawah 500 GT. Ini dikenal dengan istilah NCVS (Non Convention Vessel Standar). Standar tersebut diberlakukan pada 17 September 2009.

Sayang, standar yang berisi berbagai aturan terkait konstruksi, material, peralatan navigasi, dsb, untuk kapal-kapal tradisional tersebut tak jelas implementasinya.


Penulis meminati masalah lalu

Komentar

Komentar
()

Top