Aturan Deforestasi Eropa Menghambat Keberlanjutan Petani Kecil
Petani kecil yang mengelola lahan dengan sistem hutan campuran, sering lebih baik dalam melindungi hutan.
Foto: The Conversation/Shutterstock/PhilipYb StudioBudiman Minasny, University of Sydney dan Wirastuti Widyatmanti, Universitas Gadjah Mada
Pada 2022, Uni Eropa meratifikasi peraturan tentang produk bebas deforestasi (EU Deforestation Regulation atau EUDR) untuk mengatasi deforestasi dan di daerah tropis yang didorong oleh sektor pertanian. EUDR yang juga bertujuan untuk merestorasi keberagaman hayati ini mulai berlaku pada Desember 2024.
Peraturan ini mencakup produk seperti daging sapi, minyak sawit, kedelai, kopi, kakao, karet, dan kayu. Eksportir produk-produk tersebut harus menyediakan bukti jelas bahwa produk mereka tidak berasal dari daerah yang mengalami deforestasi sejak tahun 2020.
Selain itu, mereka harus melakukan uji tuntas untuk memastikan rantai pasok mereka bebas dari pelanggaran hak asasi manusia dan masalah lingkungan seperti deforestasi. Meski bertujuan mulia, jalan menuju kesuksesan EUDR masih penuh dengan tantangan.
Memberatkan petani kecil
EUDR memberlakukan tuntutan yang signifikan pada perusahaan, mengharuskan mereka untuk secara teliti melacak asal-usul komoditas mereka, mengelola dokumen yang rinci, dan menelusuri rantai kepemilikan. Perusahaan juga harus memantau koordinat geografis yang tepat dari lahan budi daya.
Perusahaan besar dengan sumber daya yang cukup mungkin mampu mengelola kompleksitas ini. Namun, petani kecil merasa tuntutan ini hampir mustahil untuk dipenuhi. Akibatnya, peraturan ini secara tidak langsung menguntungkan korporasi besar sambil mengesampingkan mereka yang tidak memiliki sarana untuk mengikuti peraturan tersebut.
Petani kecil yang mengelola lahan dengan sistem hutan campuran, sering lebih baik dalam melindungi hutan, memertahankan keanekaragaman hayati, dan merestorasi lahan terdegradasi dibandingkan dengan perkebunan skala besar, menghadapi tantangan signifikan. Karena kurangnya daya tawar, mereka sering dipaksa menjual hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga rendah. Petani di daerah terpencil menerima harga yang lebih rendah lagi untuk hasil panen mereka.
Pertanian tanaman kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet di Indonesia banyak didominasi oleh petani kecil. Sepertiga produksi minyak sawit Indonesia juga berasal dari petani kecil.
Efektivitas yang meragukan
Saat peraturan ini mulai terbentuk, muncul pertanyaan tentang penerapannya secara lebih luas. Apakah aturan ini dapat secara efektif meregulasi berbagai komoditas?
Meskipun mekanisme kepatuhan EUDR jelas, peraturan ini kurang memiliki langkah-langkah yang kuat untuk memverifikasi asal-usul sebenarnya dari komoditas. Peraturan ini secara selektif menargetkan komoditas tertentu, seperti minyak sawit dan kedelai-bahan baku minyak nabati utama yang ditanam di wilayah tropis. Pasalnya, perluasan area tanaman kelapa sawit di Indonesia dan kedelai di Brazildiduga menyebabkan peningkatan laju deforestasi.
Namun, negara-negara Eropa terus mengimpor minyak nabati selain minyak sawit dari wilayah lain untuk biofuel misalnya minyak kanola dari Australia. Mereka menganggap minyak kanola tidak berasal dari deforestasi, sehingga asal-usul minyak tersebut tak perlu dibuktikan.
Peraturan ini bahkan mengkategorikan beberapa negara sebagai "berisiko rendah," yang menyebabkan penerapan peraturan yang tidak merata. Pada akhirnya, pendekatan selektif ini tidak banyak membantu dalam mengatasi masalah konservasi lingkungan dan perubahan iklim.
Penerapan pelacakan untuk produk tropis ini rumit karena banyak aktor yang terlibat di sepanjang rantai pasokan. Kebanyakan produsen tidak memiliki data tentang sejarah lahan mereka dan tidak akan tahu bagaimana mematuhi peraturan ini.
Ketergantungan EUDR pada evaluasi satelit tentang penggunaan lahan sebelum tahun 2020 untuk pelacakan menimbulkan masalah tambahan. Citra satelit tidak dapat secara akurat mengidentifikasi jenis hutan di daerah tropis, masih banyak kesalahan. Selain itu, penilaian ini tidak selalu dapat mengonfirmasi asal-usul sebenarnya dari komoditas, sehingga membuat kepatuhan sebagian besar bergantung pada pelaporan diri perusahaan. Hal ini menimbulkan keraguan tentang efektivitas peraturan dalam benar-benar mengekang deforestasi.
Minim insentif lingkungan
Dari perspektif ilmu tanah, penerapan EUDR secara menyeluruh juga menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Komoditas seperti kopi dan kakao, yang sering ditanam dengan sistem agroforestri-pertanian yang memadukan beragam tanaman kayu dan buah-buahan dengan tanaman utama-termasuk dalam peraturan ini.
Masih belum jelas pula apakah citra satelit dapat membedakan tanaman hutan atau kebun dalam sistem agroforestri.
Sistem agroforestri mewujudkan keberagaman pohon yang menambah keragaman hayati dan sumber pendapatan bagi petani. Sayangnya, tidak ada insentif bagi petani yang mempraktikkan agroforestri dan mempertahankan bahan organik tanah, yang juga menyediakan berbagai layanan ekosistem.
Alhasil, peraturan ini gagal mengenali dan menghargai praktik pertanian berkelanjutan.
Menuntut keadilan
Sebagai seseorang yang memiliki minat mendalam terhadap sejarah kolonial dan kaitannya dengan praktik perkebunan modern, saya terkesan dengan kesamaan keterlibatan perusahaan kolonial Eropa dalam deforestasi besar-besaran pertama di Sumatra.
Jauh sebelum EUDR, Belanda mengubah Pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1860-an, wilayah ini masih ditutupi oleh hutan lebat.
Namun, dengan berdirinya industri tembakau di Deli, perkebunan berskala industri segera mengambil alih. Pada pergantian abad, sebagian besar daerah dataran rendah telah diubah menjadi perkebunan tembakau dan karet. Hewan-hewan asli menghilang. Lahan itu berubah selamanya.
Di lahan ini pula, seorang petani tembakau Belanda menemukan ladang minyak di Langkat, yang mengarah pada lahirnya raksasa minyak Royal Dutch Shell.
Merefleksikan sejarah tersebut, jelas bahwa peraturan yang bermaksud baik seperti EUDR dapat gagal jika tidak memperhitungkan kompleksitas konteks lokal dan praktik berkelanjutan. Uni Eropa masih belum mengakui warisan kolonial dan tanggung jawab yang dimiliki Eropa atas kerusakan lingkungan yang berlangsung di negara-negara bekas jajahannya.
Uni Eropa menetapkan standar lingkungan yang harus diikuti oleh negara-negara berkembang, tetapi tidak mengatasi sistem ekonomi yang mendorong deforestasi. Hal ini dapat memperjelas ketidaksetaraan global dengan mengalihkan tanggung jawab atas deforestasi kepada para produsen di negara-negara tropis.
EUDR telah banyak ditentang termasuk pemerintah Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Para produsen juga telah melayangkan keberatannya dengan hukuman terhadap sektor pertanian tropis.
Meskipun EUDR bertujuan untuk mengatasi tantangan lingkungan yang mendesak, peraturan ini berisiko memperburuk ketidaksetaraan dan mengabaikan kontribusi pihak-pihak yang telah lama menjaga tanah.
Kemajuan sejati dalam memerangi deforestasi akan memerlukan pendekatan yang lebih holistik yang mendukung praktik berkelanjutan di semua tingkatan, menghargai upaya petani kecil, serta mengatasi akar penyebab degradasi lingkungan.
Budiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney dan Wirastuti Widyatmanti, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Redaktur: -
Penulis: -
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal