AS Khawatir Russia Setujui Program Nuklir Korut
Dubes AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, saat berbicara pada pertemuan Dewan Keamanan PBB di markas PBB, New York, beberapa waktu lalu. Pada Rabu (18/12), Dubes Thomas-Greenfield menyatakan kekhawatiran AS bahwa Russia saat ini hampir menerima program
Foto: AFP/ANGELA WEISSNEW YORK - Amerika Serikat (AS) pada Rabu (18/12) menyuarakan kekhawatiran di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa Russia saat ini hampir menerima program nuklir Korea Utara (Korut), sementara Moskwa dan Pyongyang mempertahankan kerja sama mereka yang semakin meningkat.
Sebelumnya pada September lalu, Menteri Luar Negeri Russia, Sergei Lavrov, mengatakan bahwa Moskwa memandang gagasan denuklirisasi Korut sebagai isu tertutup karena mereka memahami logika Pyongyang yang mengandalkan senjata nuklir sebagai dasar pertahanannya.
"Yang mengkhawatirkan, kami menilai bahwa Russia mungkin akan segera menerima program senjata nuklir Korut, yang akan membalikkan komitmen Moskwa selama puluhan tahun untuk denuklirisasi di Semenanjung Korea," ucap Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield.
"Kami percaya bahwa Moskwa akan semakin enggan untuk tidak hanya mengkritik pengembangan senjata nuklir Pyongyang, tetapi juga semakin menghalangi pengesahan sanksi atau resolusi yang mengecam perilaku destabilisasi Korut," imbuh dia.
Korea Selatan (Korsel) dan Inggris sama-sama telah mengkritik pernyataan Lavrov, dengan mengatakan bahwa ia telah merusak rezim nonproliferasi global.
Wakil Duta Besar Inggris untuk PBB, James Kariuki, menggambarkan komentar Lavrov sebagai penyimpangan yang sembrono dari prinsip yang disepakati tentang pelucutan senjata yang lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat diubah.
Saat berpidato di hadapan dewan, Duta Besar Russia untuk PBB, Vassily Nebenzia, tidak merujuk pada program nuklir Korut sama sekali, tetapi membela meningkatnya kerja sama antara Moskwa dan Pyongyang sebagai hak kedaulatan Russia.
“Kerja sama Russia dengan Korut sesuai dengan hukum internasional, bukan pelanggaran hukum tersebut,” kata Dubes Nebenzia. “Hal ini tidak ditujukan terhadap negara ketiga mana pun. Hal ini tidak menimbulkan ancaman bagi negara-negara di kawasan ini atau komunitas internasional, dan tidak ada keraguan bahwa kami akan terus mengembangkan kerja sama semacam itu,” imbuh dia.
Tuding Balik
Russia diketahui telah menjalin hubungan diplomatik dan militer yang lebih erat dengan Korut sejak menginvasi Ukraina pada Februari 2022, dan Presiden Russia, Vladimir Putin, dan pemimpin Korut, Kim Jong-un, telah saling mengunjungi negara masing-masing. Selain itu Russia telah menggunakan pasukan Korut untuk memerangi pasukan Ukraina yang menguasai daerah kantong di wilayah Kursk.
Duta Besar Korut untuk PBB, Kim Song, menggambarkan bahwa hubungan yang lebih dekat dengan Russia sebagai kontribusi positif bagi perdamaian dan keamanan internasional dan menuding justru Washington DC yang mengejar kepentingan geopolitik yang egois tanpa mengindahkan Piagam PBB dan hukum internasional yang diakui.
“AS dan sekutunya adalah penyebab utama yang telah memicu konfrontasi dan perselisihan di antara negara-negara dan memicu pembantaian warga sipil tanpa henti dengan intervensi militer yang tidak bertanggung jawab dan ilegal sepanjang tahun di seluruh planet ini. (Oleh karena itu) Korut tidak akan pernah mentolerir praktik sewenang-wenang dan kejam AS dan pasukannya dalam upaya mereka untuk memaksakan sistem dominasi unipolar yang hegemonik,” imbuh dia.
Sedangkan Duta Besar Korsel untuk PBB, Hwang Joon-kook, memperingatkan Dewan Keamanan untuk memperhatikan ketidakpastian lebih lanjut yang akan terjadi menjelang presiden terpilih AS, Donald Trump, menjabat untuk masa jabatan kedua pada Januari mendatang.
“Korut memiliki sejarah tindakan provokatif selama transisi kepresidenan AS, yang dirancang untuk menarik perhatian, meningkatkan taruhan, dan menyiapkan panggung untuk negosiasi langsung dengan pemerintahan baru AS,” kata Dubes Hwang.
"Pola ini dapat terulang dalam beberapa bulan mendatang. Kali ini, (Korut) bisa saja meluncurkan ICBM (misil balistik antarbenua) atau satelit militer lainnya, atau bahkan uji coba nuklir ketujuh," ucap dia.
Korut sendiri sejak 2006 berada di bawah sanksi Dewan Keamanan PBB, dan tindakan sanksi tersebut terus diperkuat selama bertahun-tahun dengan tujuan menghentikan pengembangan senjata nuklir dan misil balistik Pyongyang. ST/I-1
Berita Trending
- 1 Usut Tuntas, Kejari Maluku Tenggara Sita 37 Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dampak Proyek LRT, Transjakarta Menutup Sementara Pelayanan di Dua Halte Ini