Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Penegakan Hukum

Artidjo Pensiun, Banyak Napi Korupsi Ajukan PK

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejak Mei 2018, narapidana korupsi berbondong-bondong mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 24 terpidana kasus korupsi tengah menempuh dan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni PK ke MA agar bisa lolos dari jeratan hukum.

"Sejak Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun pada Mei 2018, hampir seluruh narapidana kasus korupsi mengajukan PK," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3).

Menurut dia, selama bertugas di MA, Hakim Artidjo memang sosok hakim yang cukup ditakuti oleh koruptor. Bukannya memperingan, upaya banding yang dilakukan koruptor, tetapi justru diperberat jika ditangani olehnya.

"Terkait dengan PK, rekam jejak Artidjo pun patut diapresiasi. Kami mencatat sejak 2009 sampai Artidjo pensiun, sedikitnya ada sepuluh narapidana korupsi yang ditolak permohonan PK-nya," ujar Kurnia.

Artidjo dikenal sebagai seorang Hakim Agung sekaligus "ketua kamar pidana" yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat.

Ketegasan Artidjo juga pernah dirasakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Saat itu, permohonan kasasinya ditolak sehingga dirinya tetap dihukum seumur hidup.

Selain itu, ada nama Luthfi Hasan lshaaq (LHI), mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang menerima keputusan serupa. Sebelumnya, LHI divonis 16 tahun, akan tetapi MA memperberat vonisnya menjadi 18 tahun dan menambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

ICW sendiri menilai, PK sejatinya memang merupakan hak dari narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi, tidak jarang PK justru dimanfaatkan oleh pelaku korupsi sebagai salah satu jalan pintas agar terbebas dari jerat hukum.

Padahal, dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP telah tegas mengatur mengenai syarat jika seseorang ingin mengajukan PK, yakni pertama jika terdapat keadaan/novum baru, kedua putusan yang keliru, dan ketiga ada kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan.

"Namun dalam beberapa kesempatan, syarat itu kerap diabaikan sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat," ujarnya.

ola/Ant/E-3

Penulis : Yolanda Permata Putri Syahtanjung, Antara

Komentar

Komentar
()

Top