Arah Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Haruskah Diubah?
Romli Atmasasmita - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Oleh: Romli Atmasasmita
Pengalaman Indonesia dalam pemberantasan korupsi telah dirintis sejak 60 (enam puluh) tahun yang lampau dan menitikberatkan pada strategi represif bertujuan memenjarakan pelaku korupsi sebanyak-banyaknya, tetapi mengabaikan strategi pencegahan (preventif ) sehingga terjadi ketimpangan antara kedua strategi tersebut yang mengakibatkan ketidakpastian mengenai politik hukum pemberantasan korupsi.
Perubahan mendasar terdapat pada UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang mengutamakan strategi preventif. Di dalam Pasal 6 dicantumkan tugas KPK adalah melakukan: a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi; b. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik; c. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara; d. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; f. Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tugas penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan diletakkan pada urutan ke lima. Di dalam praktiknya, tugas tersebut dilaksanakan berdampingan satu sama lain. Di dalam konteks pencegahan suap dan korupsi yang menyangkut fungsi pelayanan publik di seluruh kementerian dan lembaga, KPK melakukan koordinasi, supervisi, dan monitoring akan tetapi langkah-langkah tersebut belum cukup memadai disebabkan struktur pemerintahan dalam suatu negara kepulauan sangat luas sekalipun telah diakomodasi oleh 24 kementerian teknis.
Kelemahan sistem birokrasi yang utama terletak pada sistem pengawasan dan sistem kepatuhan penyelenggara negara terhadap tugas dan kewajiban yang telah dtentukan di dalam undang-undang, termasuk larangan-larangan yang seharusnya menumbuhkan kesadaran hukum bagi mereka.
Hal ini terbukti di mana data KPK tahun 2014 menunjukkan bahwa KPK telah berhasil memasukkan terdakwa sebanyak 340 orang yang berasal dari pejabat tingkat pusat dan daerah kabupaten/kota.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya