Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 03 Jan 2020, 00:03 WIB

Antara Fakta dan Mata Batin Manusia

Prof. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., Ph.D.

Foto: istimewa

Banjir Jakarta yang terjadi di pergantian tahun menjadi topik pembicaraan masyarakat tidak hanya di Jakarta, tetapi juga merambah hampir di seluruh penjuru Nusantara. Di media sosial, di dunia maya berseliweran fakta berwujud foto, video, data resmi pemerintah, maupun bentuk berita. Sebagian, tidak sedikit yang berisikan hujatan pada pemerintah DKI khususnya Gubernur. Sebagian lagi berisikan gurauan dan sinisme terhadap kejadian banjir Jakarta dua hari yang lalu.

Daur Hidrologi

Pemahaman terhadap kejadian banjir di alam ini dapat dihampiri dengan beberapa sudut ilmu. Dari sudut pengelolaan sumber daya air orang bisa belajar tentang daur hidrologi. Secara sederhana, daur itu mengatur perputaran aliran air dari proses penguapan-hujan. Aliran permukaan dan aliran air tanah di bumi. Hujan yang jatuh di pegunungan akan mengalir ke bawah menjadi aliran air permukaan melalui sungai-sungai alam, sebagian lagi menjadi aliran air tanah dan akan dapat digunakan manusia melalui sumur.

Laju daur hidrologi ditentukan oleh beberapa faktor, seperti bentuk rupa bumi, vegetasi dan hewan, juga manusia. Unsur manusia ini menjadi unsur paling menentukan. Semakin berlebihan sifat manusia dalam memperlakukan alam maka semakin cepat daur itu berputar dan semakin rusaklah kehidupan manusia di muka bumi ini. Dan jika "prakiraan cuaca" akan adanya turun hujan lebat selama minggu mendatang terjadi, maka semua upaya manusia Jakarta akan sia-sia menghadapi banjir besar ini.

Belajar dari Sejarah

Dari sudut kesejarahan, masyarakat Jakarta haruslah belajar dari nenek moyangnya pada masa Kerajaan Tarumanagara pada masa pemerintahan Raja Purnawarman pada abad ke-5. Dalam Prasati Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali saluran pengelak banjir dan dinamakan Sungai Chandrabaga dan Gomati sepanjang kurang lebih 11 km. Prasasti Tugu tersebut juga menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya air pada masa itu dilakukan dengan secara terpadu dinyatakan dengan kata-kata sungai yang airnya jernih berkilau-kilauan (Jusuf, 2010, Arif, 2019). Kata-kata itu menyiratkan bahwa air di dalam saluran pengelak banjir itu juga dipakai sebagai sumber air domestik bagi penduduk di sekitarnya. Prasasti Tugu juga menyiratkan hubungan imajiner antara Tuhan-Alam-dan Manusia, seperti dinyatakan bahwa Raja telah menghadiahkan 100 ekor sapi untuk selamatan kepada para pendeta setelah saluran itu selesai dibangun.

Hubungan imajiner Tuhan-Alam- Manusia itu saat ini masih berlaku di banyak masyarakat tradisi di hampir di seluruh Nusantara, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang iklimnya sangat ekstrem, di masyarakat Sunda Wiwitan, di Jawa Tengah (DIY dan sekitarnya), di Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, di Sumatera selatan dan sebagainya. Bahkan, di Bali hubungan imajiner itu justru ditebalkan lagi dalam bentuk filofosi Tri Hita Karana. Dengan filosofi itu, Subak masih terus dapat bertahan meskipun sudah berumur lebih dari 1.500 tahun (Arif dan Windya, 2019).

Saat ini, masyarakat Jakarta, baik di aras elite maupun di aras bawah, sudah melupakan garis imajiner tersebut meskipun sudah diperingatkan berkali-kali dalam bentuk bencana sumber daya air, seperti bencana Situgintung. Toh, masyarakat begitu mudah lupa akan bencana tersebut setelah bencana itu berlalu. Seperti iklan sebuah obat pusing kepala pada saat terjadi maka berteriak-teriak kepala pusing, tetapi setelah minum obat maka hilang pula kesakitan itu.

Bukan Banjir Kiriman

Kembali pada masalah banjir Jakarta kemarin, perlu direnungkan bahwa penyebab banjir bukan dari hulu (Bogor dan sekitarnya) yang selalu dipakai alasan sebagai banjir kiriman. Banjir yang terjadi justru disebabkan oleh wilayah hilir Jakarta. Hujan tertinggi terjadi di Stasiun Pengamatan Halim sebesar 377 mm, sedangkan di Bendung Katulampa sendiri hanya tercatat sebesar 45 mm.

Apabila mengacu pada dasar pengelolaan sumber daya air berdasarkan lima unsur kondisi sumber daya air, prasarana (sungai, saluran, bendung dan bendungan, embung, situ, dan lain-lain), tata cara pengelolaan berujud sebagai tata kelola, institusi dan manusia maka kejadian hujan ekstrem di wilayah hilir Jabotetabek ini seolah-olah memberikan peringatan pada manusia Jakarta dan sekitarnya. Keadaan hujan yang ekstrem itu tidak mampu diatasi manusia Jakarta. Empat unsur, baik prasarana, tata kelola, institusi, dan manusia menjadi tumpul. Pemerintah Jakarta lalai untuk mengatasi persoalan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya secara saksama.

Mata Batin

Tetapi, yang terpenting lagi adalah semua pihak kembali merenung dan membuka lagi mata hati yang selama ini tertutup.

Garis imajiner Tuhan-Alam dan Manusia itu harus dibuka dan ditebalkan. Selama ini, kita hanya membuka garis imajiner itu untuk memenuhi dan membenarkan syahwat manusia terhadap kekuasaan-kekayaan-jabatan dan segala tetek-bengek urusan dunia sempit manusia.

Nama Tuhan yang memang sudah Agung dan Suci itu diteriakkan melalui pengeras suara untuk membenarkan syahwatnya. Semua lupa bahwa Dialah pencipta segala-galanya.

Lupa bahwa gunung-laut dan sungai-sungai yang mengalir, alam semesta itu senantiasa bertasbih dan menyembah-Nya.

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.