Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
RAPBN 2024 - Dorong Investasi ke Pelaku Ekonomi Kerakyatan (UMKM)

Angka Kemiskinan Sulit Turun jika Hanya Andalkan Bansos

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Untuk menekan kemiskinan, pemerintah perlu mendorong ekonomi kerakyatan.

APBN setahun ke depan hanya fokus untuk anggaran pemilu dan transisi kekuasaan.

JAKARTA - Pemerintah menargetkan angka kemiskinan dapat ditekan turun ke level 6,5 hingga 7,5 persen pada 2024 mendatang.

Target tersebut diikuti dengan rencana menurunkan angka pengangguran terbuka di kisaran 5,0-5,7 persen.

Hal itu disampaikan pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI terkait penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 di Jakarta, Jumat (19/5).

Pemerintah mengatakan akan mengandalkan efektivitas kebijakan fiskal untuk mendukung akselerasi ekonomi nasional sehingga membantu menurunkan tingkat pengangguran terbuka dan angka kemiskinan.

Angka kemiskinan di Indonesia pada September 2022 tercatat 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang, naik dari posisi Maret 2022 yang mencapai 9,54 persen tetapi lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 yang mencapai 9,71 persen.

Selain itu, rasio gini atau gini ratio diperkirakan terus membaik dengan rentang 0,374 hingga 0,377, diikuti dengan Indeks Pembangunan Manusia yang ditargetkan 73,99 persen hingga 74,02 persen.

Menanggapi target yang dicanangkan pemerintah itu, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengaku pesimistis dengan target penurunan angka kemiskinan itu bisa terealisasi tahun depan, jika pemerintah hanya mengandalkan bantuan sosial (bansos) terus-menerus.

"Pemerintah harus lebih serius mendorong investasi terutama kepada pelaku ekonomi rakyat (UMKM) yang nilainya sudah separuh dari total investasi nasional dengan serapan tenaga kerja lebih dari 90 persen," kata Awan.

Berbagai instrumen dan insentif dapat dikembangkan semisal melalui equity crowd funding atau skema pendanaan untuk bisnis kecil seperti UMKM atau Perseroan Terbatas (PT) dengan modal kurang dari 30 miliar rupiah dengan cara urunan masyarakat luas.

Sementara itu, Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Moneter dan Perbankan, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan untuk menekan kemiskinan pemerintah perlu mendorong ekonomi kerakyatan, salah satunya dengan memperkuat keberadaan UMKM yang dapat membantu menurunkan angka pengangguran.

Upaya pemberdayaan UMKM harus dilakukan secara lebih terkoordinasi agar dapat fokus membenahi kekurangan yang ada.

"Sekarang ini hampir semua kementerian memiliki program untuk pelaku UMKM sehingga pembinaan yang dilakukan bias.

Ada 27 kementerian, di sini yang saya katakan bias, mereka masing-masing melaksanakan pendampingan UMKM.

Padahal, sudah ada leading institution yaitu Kementerian Koperasi dan UKM sebagai motor, seharusnya terintegrasi di situ supaya tidak bias," kata Rahma.

Pemerintah juga, tambahnya, perlu memperluas pembangunan infrastruktur ekonomi digital untuk membantu pelaku UMKM, terutama di daerah terpencil dan kepulauan dalam mengembangkan usahanya.

Tidak Kondusif

Diminta terpisah, Direktur Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, sangat meragukan target kemampuan pemerintah itu untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga ke level 6,5-7,5 persen pada 2024.

Pada 2014, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 10, 96 persen dan saat ini 9,57 persen yang artinya dalam 9 tahun hanya turun 1 persen.

"Sekarang dalam setahun mau turun 3 persen bagaimana logikanya? Apalagi kondisi makroekonomi di level global sedang tidak kondusif alias sedang terjadi pelemahan di mana-mana yang pasti akan diikuti dengan justru penambahan tingkat pengangguran dan kemiskinan," papar Achmad.

Selain itu, APBN pada setahun ke depan hanya akan fokus untuk anggaran pemilu dan transisi kekuasaan.

Tidak akan ada banyak program terobosan baik di level nasional maupun di daerah.

Padahal menurunkan angka kemiskinan perlu banyak program kerja dari birokrat, di tahun politik hal itu sudah sangat sulit dilakukan.

"Konsentrasi para policy maker nggak akan lagi ke peningkatan investasi di daerah miskin, aset layanan kesehatan, mengurangi ketimpangan, ini semua program teknokrat yang membutuhkan banyak pengawasan dari pejabat politiknya.

Sebab, baik nasional maupun daerah sedang melaksanakan proses pemilu," papar Achmad.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top