Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan APBN | Saat ini, Anggaran Kesehatan RI Terendah di Antara Negara Besar Asean

Anggaran Kesehatan Masih Rendah

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Wacana penghapusan wajib anggaran atau mandatory spending dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dikhawatirkan dapat berdampak kepada target pembangunan Indonesia. Sebab, di negara maju, rasio anggaran kesehatan terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 10 persen.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan, saat ini Indonesia baru saja kembali masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas sehingga membutuhkan anggaran kesehatan sekitar 5,22 persen terhadap PDB. Saat ini, anggaran kesehatan Indonesia baru mencapai 2,98 persen PDB.

"Yang dikhawatirkan anggaran kesehatan kita jadi tidak memiliki acuan, karena dengan mandatory spending anggaran kesehatan kita masih cukup rendah dibanding negara lain. Ini yang menjadi tantangan dan berimplikasi apakah target pembangunan bisa tercapai," ujar Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, dalam Diskusi Publik bertajuk "Menakar Penghapusan Mandatory Spending RUU Kesehatan", yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (4/7).

Mengacu ke berbagai negara, sebagian negara di dunia telah memiliki anggaran kesehatan yang jauh lebih tinggi dari Indonesia pada saat menerapkan kebijakan wajib anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk negara maju, rasio anggaran kesehatan terhadap PDB tercatat lebih besar lagi, yakni Amerika Serikat (AS) yang mencapai 16,66 persen, Jepang 10,7 persen, dan Inggris 10,01 persen.

Di kawasan Asean, anggaran kesehatan Malaysia tercatat mencapai 3,7 persen PDB, Singapura 4,15 persen PDB, Thailand 3,8 persen PDB, dan Filipina 4,12 persen PDB. Kondisi tersebut, kata dia, turut terjadi pada negara-negara yang memiliki kesamaan karakter dengan Indonesia seperti Tiongkok sebesar 4,95 persen PDB dan India 3,27 persen PDB.

Adapun pemerintah mengusulkan mekanisme rencana induk kesehatan lima tahun sebagai metode baru menggantikan program mandatory spending, yang cenderung mengikuti skema money follow program. Skema tersebut menitikberatkan pada perencanaan dan penganggaran yang terfokus.

Tauhid berharap pendefinisian dan kalkulasi anggaran kesehatan pada skema terbaru tersebut tidak bercampur dengan dana desa, yang juga memiliki wajib anggaran. Begitu pula dengan dana pendidikan serta pertahanan dan keamanan.

"Mudah-mudahan meski tidak ada mandatory spending, anggaran kesehatan tidak lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya," tuturnya.

Pencabutan Status

Pada kesempatan lain, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan pencabutan status pandemi Covid-19 di Indonesia berpotensi berdampak positif terhadap perekonomian dalam negeri termasuk ke sektor keuangan.

"Karena mulai dari tingkat mobilitas masyarakat, para pekerja, maupun dari segi aktivitas ekonomi, tentu kita berharap pencabutan status pandemi akan memberikan suatu dorongan tambahan ke perekonomian kita sendiri," kata Mahendra dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK di Jakarta, kemarin.

Realisasi dampak pencabutan status tersebut baru akan tampak pada kinerja sektor keuangan pada Juli 2023 karena status pandemi baru dicabut pada akhir Juni 2023 di mana terdapat cuti bersama yang panjang yang berpotensi berdampak terhadap kinerja sektor keuangan.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top