Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Amendemen UUD 45 Sangat Jelas

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Tri Wahyuni

Jika memang benar politik itu seni mengelola segala kemungkinan, maka dengan berat hati, bukanlah orang baik dan hebat yang mampu memimpin negeri ini. Orang hebat dan baik sedikit kemungkinan naik ke panggung politik. Regenerasi kepemimpinan partai politik mandek.

Sosiolog Jerman, Robert Michels, dalam bukunya Political Parties (dalam James L Hyland, 1995) mengklaim bahwa aturan oleh elite atau oligarki tidak dapat dihindari sebagai "hukum besi" dalam organisasi demokratis. Bahkan, sebagai bagian dari "kebutuhan taktis dan teknis" organisasi.

Teori Michels menyatakan bahwa semua organisasi yang kompleks, terlepas dari seberapa demokratisnya mereka ketika mulai, akhirnya berkembang menjadi oligarki. Menurut Michels tidak ada organisasi besar dapat berfungsi murni sebagai demokrasi langsung. Kekuasaan dalam suatu organisasi akan selalu didelegasikan kepada individu.

Dengan mengendalikan pemilik akses informasi, penguasa dapat memusatkan kekuatan dengan sukses. Tindakan demikian sering kali minim akuntabilitas. Mereka terjerat apatisme, ketidakpedulian, dan ketidakikutsertaan sebagian besar bawahan terkait pengambilan keputusan organisasi.

Sosiolog Jerman yang kemudian bergabung dengan Partai Fasis Benito Mussolini itu juga berkesimpulan, tujuan resmi demokrasi perwakilan untuk menghilangkan kekuasaan elite itu mustahil. Demokrasi perwakilan adalah sebuah faqade yang melegitimasi kekuasaan elite tertentu. Sedangkan pemerintahan elite yang disebut sebagai oligarki tidak dapat dihindari.

Sebuah partai dapat saja menampilkan tokoh mudanya di hadapan publik. Ini bukan karena tokoh tertentu itu telah mengabdi dan berkarya banyak bagi masyarakat, melainkan karena berhubungan sanaksaudara dengan penguasa partai politik. Pada kontestasi kursi presiden dan wakil presiden 2019 mendatang, meja demokrasi kita sudah pasti akan minim menu baru. Jokowi dan Prabowo, kemungkinan besar akan membentuk dua porosnya masing-masing. Tinggal perhitungan memilih siapa yang dapat menguatkan untuk mendampingi.

Sebab ambang batas pencalonan presiden masih berlaku menurut undang-undang. Meskipun kenyataannya begitu janggal di era pemilihan umum serentak 2019 nanti.

Sudah Jelas

Paling jauh, kontestasi memperebutkan kursi RI 1 hanya akan sampai pada poros ketiga. Itu pun jika mungkin. Demokrat, dengan 10,9 persen suara atau 61 kursi parlemen hasil Pemilihan Umum 2014, siap untuk itu jika ada tokoh yang dapat mencukupi ambang batas kursi parlemennya.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan, telah menampakkan sikap politik untuk menggandeng Jusuf Kalla (JK), wakil presiden saat ini, untuk membangun poros ketiga. Kehadiran JK dinilai dapat lebih mempermudah menggalang koalisi dan merangkul suara pemilih muslim. Ini mengingat beberapa posisinya yang cukup strategis di organisasi kemasyarakatan Islam.

Tapi, di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun menempatkan JK dalam daftar teratas pendamping kandidat presiden mereka. Setidaknya itu yang dikatakan Wakil Sekjen PDIP, Ahmad Basarah. Dilansir dari laporan utama sebuah media, kepada JK, Jokowi pun terang mengatakan, "Pak JK, don't change the winning team."

JK sebagai politikus senior tampak masih mengelola segala kemungkinan. Paling tidak, bagi JK ada tiga opsi. Pertama, dia dicalonkan lagi bersama Jokowi. Kedua, JK membentuk poros sendiri. Ketiga, seperti pernah juga dikatakannya, beristirahat dari panggung politik dan fokus mengurus keluarga sersta organisasi masyarakat. Tapi bagi opsi terakhir tersebut, JK menggari sbawahi , istirahat dari panggung politik masih ada kewajiban diatasnya , yaitu menjalankan tugas demi kepentingan bangsa dan negara.

Maksud JK dapat dipahami. Namun dari ketiga opsi itu, pertanyaan peliknya, apakah JK masih boleh maju wapres lagi. JK sudah menjabat dua kali sebagai wapres. Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sebagian kalangan menganggap norma tersebut multitafsir dan dibutuhkan peran Mahkamah Konstitusi untuk memberi penjelasan. Turunan pasal jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu, dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menentukan "yang dimaksud belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam masa jabatan yang sama selama dua kali.

Ini baik berturut-turut maupun tidak. Walaupun masa jabatan itu kurang dari 5 (lima) tahun." Pasal terakhir inilah yang kini diujimaterilkan ke Mahkamah Konstitusi oleh Partai Perindo. Sebagai partai baru, Perindo dinilai dapat mengalami kerugian konstitusionalitas karena tidak ikut menyusun UU Pemilu). JK sebagai pihak terkait.

Kebersediaan JK sebagai pihak terkait wajar karena kemungkinannya satu kaki berada di situ. Namun, hasil amendemen konstitusi pascareformasi telah sangat terang membuat pembatasan periode pemegang kekuasaan untuk menghindari absolutisme. Tidak perlu penafsiran apa pun lagi.

Pembatasan cukup dua kali masa jabatan presiden atau wakil presiden, terlepas dijabat secara berkelanjutan atau ada jeda. Jeda dalam memengang kekuasaan kepresidenan dimungkinkan, namun tidak melebihi dua kali. Itulah yang dialami JK pada masa periode kedua Presiden SBY dulu.

Satu lagi, jika akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Perindo, ini hanya makin memsempit saja kemungkinan orang-orang baru yang mampu memimpin untuk naik ke panggung politik.

Penulis, Lulusan Houston Community Collage, Texas

Komentar

Komentar
()

Top