Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Akurasi Data

Foto : ANTARA/Muhammad Zulfikar.

Presiden Jokowi saat menerima dosis pertama vaksin COVID-19 di Istana Negara Jakarta.

A   A   A   Pengaturan Font

Budi Gunadi Sadikin (BGS) dilantik menjadi Menteri Kesehatan (Menkes) menjelang pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Sehingga tidak heran jika ada yang mengaitkan terpilihnya BGS menjadi Menkes agar pelaksanaan vaksinasi sukses, sesuai dengan rencana dan target pemerintah.

Hanya beberapa hari setelah dilantik, BGS membuat pernyataan yang mengejutkan bahwa proses vaksinasi Covid-19 akan memakan waktu 3,5 tahun. Namun sehari berikutnya, Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmidzi, menjelaskan bahwa proses vaksinasi di Indonesia selesai dalam waktu 15 bulan. Tiga setengah tahun yang dimaksud BGS, menurut Siti Nadia Tarmidzi adalah proyeksi penyelesaian vaksinasi untuk seluruh dunia.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, pertengahan bulan lalu, BGS kembali membuat pernyataan yang menarik perhatian. Ia tidak lagi percaya pada data yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam distribusi dan penyiapan strategi vaksinasi. Sudah banyak pihak tertipu dengan data dari Kemenkes.

"Saya tidak mau ketipu kedua kali. Dibilang secara agregat cukup jumlah puskesmas dan rumah sakit (RS) untuk menyuntik (vaksinasi). RS pemerintah saja, nggak usah libatin pemda dan swasta katanya cukup, ternyata nggak cukup," ungkapnya dalam sebuah dialog pertengahan Januari lalu.

Menurut BGS, ada sekitar 60 persen kabupaten dan kota yang kapasitasnya ternyata tidak cukup untuk menyuntik vaksin Covid-19. Kalau di Bandung saja misalnya, ia yakin proses vaksinasi akan sesuai dengan target, tapi yang di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan daerah terpencil lainnya bisa 3.000 hari atau sekitar delapan tahun baru bisa tuntas.

Supaya tidak salah lagi, BGS akan mengandalkan data Komisi Pemiihan Umum (KPU) yang menyediakan data terkini untuk penduduk di atas usia 17 tahun. Meski data KPU juga bisa dibilang amburadul mengingat banyaknya calon pemilih yang tidak terdata dalam pemilihan umum lalu, namun setidaknya lebih mending dibanding data instansi lain karena diawasi dan dikoreski oleh partai peserta pemilu yang sangat berkepentingan karena itu menentukan nasib partai ke depan.

Ribut-ribut soal data di Tanah Air sebenarnya bukan hal baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia lemah soal data. Tidak hanya menjelang vaksinasi saja, sebelumnya saat menjelang pembagian bantuan sosial, kita juga dibuat bingung dengan data yang ada. Kita, terutama pemerintah, memang lemah dalam hal pembaruan data.

Ketidakakuratan data bisa menjadi sumber konflik. Dalam hal bantuan sosial, data yang tidak akurat bisa menjadi sumber ketidakadilan. Bisa-bisa orang yang tidak butuh bantuan malah mendapatkan, begitu sebaliknya yang seharusnya mendapat bantuan malah tidak menerima.

Pemerintah mau tidak mau harus segera memperbaiki data nasional supaya kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya yang berkaitan dengan data penduduk harus bisa dipercaya. Sangat tidak masuk akal di era digital dan informasi teknologi seperti sekarang ini pemerintah tidak mempunyai data yang update dan akurat. ν

Komentar

Komentar
()

Top