Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Aktivis HAM Kritik Pasal Warisan Kolonial yang Masih Ada dalam RKUHP

Foto : Istimewa

Ilustrasi RKUHP.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Para aktivis penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP,mengkritik masih masuknya pasal-pasal warisan kolonial Belanda dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dikhawatirkan pasal-pasal warisan kolonial tersebut akan mengekang bahkan membunuh iklim demokrasi di Indonesia.

"Pemerintah dalamdraft September 2019 tetap mamasukkan pasal-pasal warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia. Padahal Pemerintah dan DPR selalu berjargon bahwa RKUHP dengan cita-cita reformasi hukum pidana di Indonesia hadir dengan semangat demokratisasi, dekolonisasi, dan harmonisasi hukum pidana. Pasal-pasal ini justru adalah monumen kolonial di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili Aliansi Nasional Reformasi KUHP, di Jakarta, Rabu (16/5).

Salah satu pasal warisan kolonial ini, kata Erasmus, terkait dengan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan nartabat Presiden dan Wakil Presiden. Soal ini diatur dalam Pasal 218-220 RKUHP.

"Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda," katanya.

Menurut Erasmus, pasal tentang ini di era kolonial,pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, di mana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top