Akhemeniyah, Kekaisaran Multikultur di Iran Kuno
Zoroaster, yang hidup sekitar 1000 SM, mendorong proses ini. Baginya, satu-satunya tuhan adalah sang pencipta, Ahura Mazda, pembawa asha cahaya, ketertiban, kebenaran; hukum atau logika yang digunakan untuk menyusun dunia. Bahkan mereka yang tidak menganut Zoroastrianisme tumbuh dalam budaya yang menghargai gagasan etis sederhana seperti mengatakan kebenaran.
Dalam kutipan dari buku karya Peter Davidson berjudul Atlas of Empires (2018) bercerita tentang bagaimana dan mengapa kerajaan-kerajaan besar dalam sejarah muncul, beroperasi dan akhirnya mengalami kemunduran. Selain itu juga membahas masa depan kerajaan tersebut di dunia yang terglobalisasi saat ini.
Di beberapa daerah, satu suku berhasil mengumpulkan kumpulan suku lain di bawah kepemimpinannya. Orang Media (Medes) adalah salah satunya. Mereka membangun ibu kota di Ecbatana di bagian timur Zagros tempat mereka memperluas kekuasaannya.
Pada 612 SM, Cyaxares, Raja Media, menyerbu Niniwe bersama orang Kasdim, setelah itu ia bergerak ke barat laut. Pada 585 SM, bangsa Media berperang melawan bangsa Lydia di Sungai Halys ketika gerhana matahari membuat kedua belah pihak takut untuk berdamai. Segera setelah itu, Cyaxares meninggal dan mewariskan sebuah kerajaan kepada putranya Astyages (585-550 SM).
Salah satu wilayah yang sukunya membayar upeti kepada bangsa Media adalah Persia, yang terletak di tenggara Ekbatana, di luar Elam. Ada sekitar 10 atau 15 suku di Persia, salah satunya adalah Pasargadae. Pemimpin Pasargadae selalu berasal dari klan Akhemeniyah, dan pada tahun 559 SM, seorang pemimpin baru dipilih yaitu Cyrus II.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Ilham Sudrajat
Komentar
()Muat lainnya