Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Agitasi Politik Uang

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Aminuddin

Menjelang pemilihan umum 17 April 2019, politik uang menghantui di berbagai daerah. Modus operandinya pun variatif, mulai dari pemberian suvenir, bahan pokok, hingga nominal. Pelakunya juga tidak sedikit.

Hampir seluruh calon melakukan politik uang. Survei nasional pasca- Pileg 2014, yang dilaksanakan 22-26 April 2014, menunjukkan 33 persen pemilih terlibat dalam praktik politik uang. Pileg 2014 lalu ada 187 juta pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Dengan demikian, 33 persen artinya 62 juta orang pernah ditawari politik uang (Muhtadi, 2018). Dengan angka tersebut, politik uang akan terus dijadikan budaya mempengaruhi pemilih. Politik uang dipilih sebagai salah satu alternatif guna merayu konstituen menyerahkan suaranya.

Melihat bahaya politik uang, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan haram karena sumber segala kekacauan, termasuk praktik korupsi. Publik tentu masih ingat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota DPR, Bowo Sidik Pangarso.

Dia diduga menggunakan pengaruhnya untuk menekan PT Pupuk Indonesia agar menggunakan kembali jasa PT Humpuss Transportasi Kimia dalam distribusi pupuk. Ada dugaan, uang hasil korupsinya akan digunakan untuk mempengaruhi warga agar memilihnya pada Pemilu 2019.

Kasus tadi tentu menjadi salah satu kaca pembesar, politik uang menjadi sumber praktik korupsi. Hasil korupsi semata- mata untuk politik uang. Maka tidak heran, korupsi politik bertengger di jajaran atas kasus korupsi negeri ini.

Bahkan KPK secara khusus menyebut, lebih dari 60 persen pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani merupakan politikus. Data perkara KPK pada 2018 menyebutkan sekitar 61,17 persen pelaku diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik.

Ada 69 anggota DPR, 149 DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 pihak lain terkait perkara tersebut. Meski begitu, tidak bisa menghakimi bahwa pemilih mata duitan. Ada sebab akibat politik uang marak. Misalnya, dianggap sudah menjadi kebiasaan menjelang pesta demokrasi.

Artinya, ketika caleg tidak mengeluarkan uang, ada rasa ketidakadilan bagi konstituen karena caleg lain sudah melakukan serupa. Tentu saja praktik seperti ini sangat dilematis bagi caleg.

Di satu sisi, jika tetap tidak melakukan politik uang, sebaik apa pun caleg tersebut berpotensi tidak akan terpilih. Namun jika melakukan politik uang, dia melacurkan harga diri. Belum lagi dengan biaya politik semakin meninggi. Seorang petinggi partai di Jawa Tengah dalam pelaksanaan pemilihan bupati mengungkapkan, calon yang didukung tidak terlalu mengharap perolehan suara dari politik uang.

Menurutnya, politik uang tidak bertujuan mendulang suara, namun hanya untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Uang diberikan agar publik antusias datang ke bilik suara. Jika yang dipilih bukan calon yang didukung, tidak masalah.

Kenyataan ini tentu saja menjadi tantangan baru penyelenggara pemilu. Sebab, politik uang bukan lagi dimaknai sebagai bagian dari cara instan memperoleh suara, tetapi sebagai terapi politik agar publik dapat berpartisipasi. Dalam konteks persepsi baru ini, penyelenggara pemilu tentu dilema.

Di satu sisi, publik diharapkan dapat berpartisipasi dalam hajatan politik. Namun, di sisi lain, warga enggan datang ke tempat pemungutan suara jika tidak diberi uang.

Sementara itu, uang dapat diperoleh dari kandidat. Sistem proporsional terbuka diberlakukan juga turut mempengaruhi sistem politik uang. Dalam sistem ini, kandidat tidak hanya bersaing dengan caleg beda partai, namun juga dengan internal partai.

Mengingat persaingan sangat ketat di internal partai, caleg dituntut membangun jaringan terhadap konstituen. Ketergantungan caleg pada parpol pengusung tidak lagi berlaku. Sebab parpol tidak lagi bertanggung jawab untuk mempromosikan salah satu caleg di internal parpol.

Caleg dipaksa membangun jaringan secara personal ke berbagai daerah. Ketika jaringan personal dengan cara baik sudah tumpul, di sinilah kemu d ian politik uang dimainkan caleg yang tidak mampu mengampanyekan secara ideal.

Bagi caleg yang personal branding-nya tidak kuat, politik uang merupakan salah satu alternatif untuk mengacak pemilih. Pemilih yang masih belum kuat "iman" politiknya dipaksa tunduk terhadap nominal yang sedikit. Harus diakui, pemilih yang menerima uang tidak lantas patuh terhadap pemberi.

Sebab, tidak ada jaminan dari caleg ke pemilih untuk tunduk. Jenis pemilih yang oportunis ini tentu saja tidak bisa dijadikan patokan memenangkan pemilu. Mereka bisa saja datang dari tipe pemilih tradisional dan loyal. Artinya, mereka sudah memiliki pilihan pada pemilu nanti.

Namun mereka tetap menerima uang sogok hanya menguras logistik caleg yang memainkan politik uang. Maka sangat kongruen dengan disertasi Burhanuddin Muhtadi (2018) bahwa pengaruh politik uang terhadap pilihan politik hanya menyentuh angka 10,2 persen.

Terus Terjadi

Agitasi politik uang masih akan terus terjadi dalam Pemilihan Umum 2019. Ketatnya persaingan antarcaleg baik eksternal partai maupun internal, politik uang akan sangat menentukan nasib calon.

Mereka terpaksa mengeluarkan banyak uang demi mendulang suara konstituen. Meski begitu, politik tanpa uang memang mesti ditradisikan. Sebab, tanpa politik uang selangkah lebih maju dalam pemberantasan korupsi.

Oleh sebab itu, politik uang harus diredam karena berbahaya. Penyelenggara pemilu, lembaga kemasyarakatan, partai politik, dan bahkan masyarakat sipil harus bahu-membahu menolak politik uang.

Tumbuhnya kesadaran menolak politik uang seperti memasang baliho menolak politik uang di berbagai daerah tentu menjadi angin segar. Cara-cara ini harus dilakukan secara masif. Selain itu, mengakselerasi imbauan MUI tentang haramnya politik uang juga perlu diintensifklan semua kalangan.

Di tengah corak masyarakat yang mengeklaim religius, menanamkan pengetahuan terhadap masyarakat bahwa politik uang haram semoga diterima. Para penceramah juga perlu digandeng guna mengampanyekan. Begitu dengan ormas harus lebih giat mengampanyekan bahaya politik uang baik dari segi pengelolaan negara maupun dalam konteks agama. Penulis meminati masalah politik

Komentar

Komentar
()

Top