Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 24 Mar 2023, 06:55 WIB

Agar Gambar Semakin Jelas Kecerdasan Buatan Perlu Dilatih dengan Data

Foto: Istimewa

Sistem pencitraan resonansi magnetik fungsional (visual functional magnetic resonance imaging/fMRI) bekerja melalui anatomi dasar dari jalur visual. Pertama cahaya memasuki mata, merangsang sel-sel retina, yang serat keluaran terintegrasinya berjalan di sepanjang saraf optik.

Keberhasilan ilmuwan dari Universitas Osaka menggabungkan data fMRI dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) penghasil gambar canggih untuk menerjemahkan aktivitas otak peserta studi kembali ke gambar yang sangat mirip dengan yang mereka lihat selama pemindaian.

"Yang menarik bagi saya adalah bahwa ini berhasil," kata Ambuj Singh, seorang ilmuwan komputer di University of California, Santa Barbara, AS, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Namun, itu tidak berarti para ilmuwan telah menemukan dengan tepat bagaimana otak memproses dunia visual.

Model difusi stabil tidak harus memproses gambar dengan cara yang sama seperti yang dilakukan otak, meskipun mampu menghasilkan hasil yang serupa. Para penulis berharap bahwa membandingkan model-model ini dan otak dapat menjelaskan cara kerja bagian dalam dari kedua sistem yang kompleks.

Walaupun terdengar fantastis, teknologi ini memiliki banyak keterbatasan. Setiap model harus dilatih, dan menggunakan, data hanya dari satu orang.

"Otak setiap orang benar-benar berbeda," kata Lynn Le, ahli saraf komputasional di Radboud University di Belanda, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. "Jika Anda ingin AI merekonstruksi gambar dari pemindaian otak Anda, Anda harus melatih model khusus dan untuk itu, para ilmuwan akan membutuhkan kumpulan data fMRI berkualitas tinggi dari otak. Kecuali Anda setuju untuk berbaring diam dan berkonsentrasi pada ribuan gambar di dalam tabung MRI yang berdenting dan sesak, tidak ada model AI yang memiliki cukup data untuk mulai mendekode aktivitas otak," imbuh dia.

Bahkan dengan data tersebut, model AI hanya bagus dalam tugas yang telah dilatih secara eksplisit, jelas Lynn Le.

Sebuah model yang dilatih tentang bagaimana seseorang memahami gambar tidak akan berhasil untuk mencoba memecahkan kode konsep apa yang dipikirkan meskipun beberapa tim peneliti, termasuk Shailee Jain, ahli saraf komputasi di University of Texas di Austin, sedang membangun model lain untuk itu.

Masih belum jelas apakah teknologi ini akan berhasil merekonstruksi gambar yang hanya dibayangkan oleh peserta, tidak dilihat dengan mata mereka. Kemampuan itu diperlukan untuk banyak penerapan teknologi, seperti penggunaan antarmuka otak-komputer untuk membantu mereka yang tidak dapat berbicara atau memberi isyarat untuk berkomunikasi dengan dunia.

"Ada banyak hal yang bisa diperoleh, secara ilmu saraf, dari membangun teknologi decoding," kata Jain.

Tetapi manfaat potensial datang dengan potensi masalah etika, dan penanganannya akan menjadi lebih penting seiring dengan peningkatan teknik ini. Keterbatasan teknologi saat ini adalah bukan alasan yang cukup baik untuk menganggap enteng potensi bahaya decoding.

"Saya pikir waktu untuk memikirkan privasi dan penggunaan negatif dari teknologi ini adalah sekarang, meskipun kita mungkin tidak berada pada tahap di mana hal itu bisa terjadi," tutur dia. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.