Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Adaptasi Teknologi Portabel untuk Deteksi Sel Darah Putih

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Para peneliti memastikan bahwa perangkat portabel bisa secara akurat menentukan apakah kadar sel darah putih terlalu rendah.

Para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, berhasil mengembangkan perangkat portabel di bidang medis. Ilmuwan menciptakan alat yang dapat digunakan untuk memantau tingkat sel darah putih pada pasien di rumah. tanpa mengambil sampel darah.

Teknologi ini dapat membantu mencegah infeksi yang mengancam jiwa pada pasien yang sedang dalam masa kemoterapi. Salah satu efek samping kemoterapi adalah penurunan tajam sel darah putih, yang membuat pasien rentan terhadap berbagai infeksi berbahaya.

Pengembangan perangkat ini membantu mencegah ribuan kasus infeksi yang terjadi pada pasien kemoterapi setiap tahunnya. Prototipe ini mampu merekam video sel-sel darah yang mengalir melalui kapiler tepat di bawah permukaan kulit.

Algoritma komputer dapat menganalisis gambar untuk menentukan apakah kadar sel darah putih di bawah ambang batas yang dianggap berbahaya oleh dokter atau tidak.

"Visi kami adalah pasien akan memiliki perangkat portabel yang dapat mereka bawa pulang, dan mereka dapat memantau setiap hari bagaimana mereka bereaksi terhadap pengobatan. Jika sel dalah putih berada di bawah ambang batas, maka pengobatan pencegahan dapat dilakukan," kata Carlos Castro- Gonzalez , postdoc di MIT Research Laboratory of Electronics (RLE) sekaligus pemimpin tim peneliti.

Dalam penelitian mereka, para peneliti menunjukkan bahwa perangkat ini bisa secara akurat menentukan apakah kadar sel darah putih terlalu rendah. Studi mereka melibatkan 11 pasien yang menjalani kemoterapi.

Mencegah infeksi

Para peneliti memulai proyek ini sejak empat tahun lalu. Program ini menarik banyak minat dari seluruh dunia untuk mencoba memecahkan masalah yang dihadapi dokter dan rumah sakit.

Dalam kasus ini, tim peneliti mengunjungi departemen onkologi di sebuah rumah sakit di Madrid. Peneliti menemukan bahwa tingkat sel darah putih yang rendah pada pasien membuat mereka rentan terhadap infeksi yang mengancam jiwa pasien.

Pasien kemoterapi biasanya menerima dosis setiap 21 hari. Tingkat sel darah putih mereka akan turun persetiap dosisnya dan kemudian naik lagi secara bertahap. Namun, dokter biasanya hanya menguji darah pasien tepat sebelum dosis baru, sehingga mereka tidak tahu apakah kadar sel darah putih turun ke tingkat berbahaya setelah perawatan.

"Di AS, satu dari enam pasien kemoterapi berakhir di rumah sakit dengan infeksi saat sel putih mereka sangat rendah," kata Castro-Gonzalez. Infeksi tersebut menyebabkan pengobatan yang lama, biaya rumah sakit mahal dan berakibat fatal pada sekitar 7 persen kasus.

Tim MIT memperkirakan bahwa jika ada cara untuk mendeteksi ketika jumlah sel darah putih pasien turun di bawah ambang batas, sehingga mereka dapat diobati dengan antibiotik profilaksis. Obat ini meningkatkan pertumbuhan sel darah putih, maka sekitar setengah dari 110.000 infeksi yang terjadi di pasien kemoterapi di Amerika Serikat setiap tahun dapat dicegah.

Teknologi yang digunakan para peneliti untuk mengatasi masalah ini terdiri dari mikroskop medan lebar yang memancarkan cahaya biru. Kemampuannya menembus sekitar 50 hingga 150 mikron di bawah kulit dan dipantulkan kembali ke kamera video.

Para peneliti memutuskan untuk membayangkan kulit di pangkal kuku, yang dikenal sebagai lipatan kuku, karena kapiler di sana terletak sangat dekat dengan permukaan kulit. Kapiler-kapiler ini sangat sempit sehingga sel darah putih harus menekan satu per satu, membuatnya lebih mudah untuk dilihat.

Teknologi ini tidak memberikan informasi jumlah sel darah putih secara pasti, tetapi mengungkapkan apakah pasien berada di atas atau di bawah ambang batas yang dianggap berbahaya yakni 500 neutrofil (jenis sel darah putih yang paling umum) per mikroliter darah.

Deteksi ambang batas

Para peneliti menguji perangkat pada 11 pasien di Rumah Sakit Umum Massachusetts dan Rumah Sakit di Madrid.. Pendekatan ini terbukti 95 persen akurat untuk menentukan apakah tingkat sel darah putih pasien berada di atas atau di bawah ambang batas.

Tim riset telah mengajukan permohonan paten atas teknologi ini dan telah meluncurkan perusahaan bernama Leuko, yang bekerja untuk mengkomersilkan teknologi dengan bantuan sejumlah lembaga lain. Untuk membantu pengembangan teknologi lebih jauh ke arah komersialisasi, para peneliti sedang membuat prototipe otomatis baru.

"Mengotomasi proses pengukuran adalah kunci untuk membuat perangkat rumah yang layak," kata Ian Butterworth, peneliti lain yang terlibat dalam riset ini. "Pencitraan perlu dilakukan di tempat yang tepat di jari pasien, dan pengoperasian alat harus lugas," tambah Butterworth

Dengan menggunakan prototipe baru ini, para peneliti berencana untuk menguji perangkat dengan pasien kanker yang lebih banyak. Mereka juga menyelidiki apakah mereka bisa mendapatkan hasil yang akurat dengan durasi video yang lebih pendek.

Mereka juga berencana untuk mengadaptasi teknologi sehingga dapat menghasilkan jumlah sel darah putih yang lebih tepat, yang akan membuatnya berguna untuk memantau penerima transplantasi sumsum tulang atau orang-orang dengan penyakit menular tertentu.nik/berbagai sumber/E-6

Riset Medis Terbaru untuk Penyembuhan Malaria

Para peneliti dari Liverpool School of Tropical Medicine, menunjukkan potensial besar obat antimalaria yang benar-benar baru dalam membunuh nyamu. Obat ini juga sensitif untuk menarget parasit dan mengurangi penyebaran malaria.

Tim ini bekerja dengan Kenya Medical Research Institute (KEMRI), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat serta rekan-rekan peneliti lain dari seluruh dunia. Mereka melakukan uji coba terkontrol secara acak di Kenya bagian barat.

Hasil penelitian yang didanai oleh Malia Eradication Scientific Alliance (MESA) ini diterbitkan di salah satu jurnal medis terkemuka di dunia The Lancet Infectious Diseases.

Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa menambahkan dosis tinggi ivermectin yakni golongan obat endektosida ke antimalaria dihydroartemisinin-piperaquine (DP) memiliki efek besar dan jangka panjang pada kematian nyamuk.

Menno Smit yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa pendekatan ini adalah jenis intervensi yang sepenuhnya baru yang dapat dikampayekan ke masyarakat luas dengan obat-obatan antimalaria. "Misalnya saja pemberian obat massal dan kemoprevensi malaria musiman untuk membunuh nyamuk dan parasit," kata Smit.

Smit mengatakan, timnya bekerja dengan rekan-rekan dari Imperial College London dan memprediksi bahwa penambahan ivermectin dosis tinggi meningkatkan dampak pada pengurangan malaria hingga 61 persen. Ivermectin adalah obat antiparasit dan dalam dosis yang lebih rendah secara luas digunakan dalam pengobatan penyakit tropis lainnya. Pengunaannya dianggap aman hingga dosisnya ditingkatkan hingga 10 kali dosis standar.

Tim ini juga menggabungkannya dengan obat malaria DP yang secara rutin digunakan dalam pemberian obat massal di banyak negara endemik malaria. Mereka menemukan bahwa program tiga hari dari ivermectin 300 dan 600 mcg / kg / hari aman dan secara rutin mampu membunuh nyamuk. Hasil ini menunjukkan bahwa ivermectin memiliki potensi sebagai alat baru untuk pengendalian dan eliminasi malaria.nik/berbagai sumber/E-6

Komentar

Komentar
()

Top