Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Abdurrahman Wahid di Mata Para Tokoh

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Cetakan I : 2017

ISBN : 978-602-04-4792-2

Tebal : 202 halaman

Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu." (Abdurrahman Wahid). Bulan Desember tahun 2017 adalah tepat sewindu Gus Dur wafat, namun kisah dan gagasan-gagasannya masih terus diperbincangkan. Berbagai diskusi ilmiah diadakan dan bermunculan gerakan masyarakat yang berkomitmen meneruskan gagasangagasannya. Empati kemanusiaan adalah salah satu perhatiannya terutama terhadap kelompok minoritas yang tidak berdaya. Dia tidak memandang latar belakang seseorang ketika memperjuangkan minoritas yang tertindas. Keberagaman adalah salah satu gagasan penting.

Testimoni dan kesaksian terhadap pribadinya telah banyak dibicarakan. Buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa menghadirkan testimoni dari 20 narasumber mulai dari kiai, tokoh agama, budayawan, seniman, ilmuwan, aktivis hingga jurnalis. Anaknya, Yenny Zannuba, memberi kata pengantar berjudul Membela yang Tak Berdaya.

Para penulis yang telah berinteraksi langsung dengan sehingga mampu menuangkan pengalaman dengan baik. Dari kalangan seniman ada Dorce Gamalama dan Inul Daratista. Bagi Inul, Presiden keempat ini seperti ayah sendiri yang sering menasihati layaknya kepada anak. Salah satu nasihatnya, agar Inul menabung baik harta maupun ilmu. Nasihat itu dilaksanakan. Hal senada dirasakan Dorce Gamalama yang menganggapnya seperti bapak bagi kaum waria. Saat masyarakat umum mencaci keberadan waria, Gus Dur justru menghargai hakhak minoritas ini.

Testimoni dari kalangan kiai antara lain disampaikan Habib Saggaf bin Mahdi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Iman Parung), KH Muhammad Yusuf Chudlori (Pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang) dan KH Imam Ghazali Said (Pengasuh pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo Surabaya). Ada pesan khusus kepada para kiai menjelang pelengseran dari kursi Presiden. Katanya, "Kalau tawakal, Anda berani dan layak hidup" (hal 172).

Kalimat tersebut teruji. Setelah lengser, Gus Dur semakin berani menjalani kehidupan dan tawakal menjadi sumber kekuatannya. Habib Saggaf salah satu kiai yang dapat membujuk ketika sakit untuk cuci darah. Orang lain gagal membujuknya. Bagi Saggaf, cara menasihati dengan gaya ringan dan kocak sehingga yang dinasihati tidak tersinggung.

Profesor Emeritus Bidang Antropologi Universitas Chiba Mitsuo Nakamura yang mengenal secara langsung Gus Dur saat meneliti di Indonesia tentang perkembangan Islam. Gus Dur dan Ibu Sinta diundang dalam program "Asian Intellectual Exchange," pertemuan pejabat tinggi Deplu Jepang, para pemimpin partai politik, pengusaha dan lain-lain. Dalam perjalanan ke Jepang, Mistuo mendampingi Gus Dur keliling Kota Kamakura. Mistuo terkesan dengan pengetahuannya yang melampui pengetahuan Mitsuo tentang sejarah kota kuno tersebut. Abdurrahman Wahid juga mengingat betul detail-detail novel Shogun dan film Kurosawa Ran. Bagi Mitsuo, Gus Dur teman dan guru. Sebagai penghargaan, Professor Mitsuo menerbitkan kembali buku The Crescent Arises Over The Banyan Tree dengan tambahan kalimat "In memory of Gus Dur Who Has Widened My View On Humanity" (hal 111) .

Testimoni lain datang dari Ahmad Tohari, Jaya Suprana, Don Bosco Selamun, Frans Magnis Suseno.

Diresensi Siti Nuryanti, Lulusan Unsoed

Komentar

Komentar
()

Top