54 Persen Pelajar di Luar Negeri Alami Kecemasan Terkait Keuangan
Foto ilustrasi tiga pelajar Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri. Menurut survei mereka merasa khawatir tidak mampu mengelola keuangan dengan baik ketika menjalankan studi.
Foto: aloysiusJAKARTA - Survei terbaru dari Wise mengungkapkan, banyak pelajar Indonesia belum siap menghadapi tantangan pengelolaan keuangan saat studi di luar negeri. Menurut hasil survei ini lebih dari setengah responden (54 persen) merasa khawatir atau sangat khawatir dalam mengelola keuangan di luar negeri.
Survei yang yang dilakukan oleh perusahaan pengiriman dan mengelola uang tersebut bersama dengan konsultan pendidikan NIEC Indonesia ini melibatkan lebih dari 200 pelajar Indonesia. Mereka baik yang sedang atau masih merencanakan studi di luar negeri.
"Tujuan survei ini adalah untuk memahami keterampilan keuangan, kekhawatiran finansial ketika studi di luar negeri, serta pemahaman tentang biaya tersembunyi dalam transaksi uang internasional," ujar Wise melalui keterangan tertulis pada hari Senin (21/10).
Survei tersebut, yang dilakukan oleh Wise dan NIEC Indonesia, diadakan dari tanggal 30 Agustus hingga 9 Oktober 2024. NIEC Indonesia mensurvei sekitar 216 pelajar Indonesia yang sedang maupun masih merencanakan studi di luar negeri.
Survei ini mengungkapkan adanya ketimpangan yang signifikan dalam kesiapan pengetahuan finansial pelajar untuk hidup di luar negeri. Lebih dari setengah (55 persen) responden yang berencana kuliah di luar negeri masih meminta bantuan atau sepenuhnya bergantung kepada orang lain umumnya orang tua atau wali untuk mengelola keuangan mereka.
"Bagi banyak pelajar, studi di luar negeri akan menjadi pengalaman pertama mereka dalam mengelola uang secara mandiri, yang dapat menimbulkan rasa tidak siap dan kecemasan selama masa transisi tersebut," tutur Wise.
Selain itu, 25 persen responden mengaku sering menemukan perbedaan antara anggaran yang direncanakan dan pengeluaran aktual. Perbedaan ini jauh lebih tinggi (67 persen) di kalangan pelajar yang sudah di luar negeri, menggarisbawahi tantangan pengelolaan keuangan di negara asing.
Menurut Wise, survei menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara ekspektasi para pelajar dan kenyataan dalam mengelola anggaran ketika studi di luar negeri. Di kalangan pelajar yang masih merencanakan studi di luar negeri, hanya 29 persen yang merasa mengatur anggaran di luar negeri adalah hal yang sulit.
Angka ini kemudian melonjak menjadi 53 persen di kalangan pelajar yang sedang studi di luar negeri. Mengelola pengeluaran harian (62 persen) muncul sebagai tantangan utama, diikuti oleh menabung (53 persen), menangani biaya tak terduga (40 persen), serta membayar sewa serta utilitas (22 persen).
"Temuan ini menunjukkan bahwa kebutuhan finansial saat studi di luar negeri seringkali lebih berat dari yang diperkirakan," lanjut Wise.
Mengurus transaksi uang internasional adalah tantangan besar lainnya bagi pelajar ketika studi di luar negeri. Survei menemukan bahwa 57 persen responden masih menggunakan layanan tradisional seperti bank lokal untuk mengirim dan menerima uang dari luar negeri, yang dikenakan biaya transaksi yang lebih tinggi.
"Selain itu, transfer ini biasanya memakan waktu 3-5 hari untuk sampai, yang dapat menjadi masalah bagi mahasiswa yang mengandalkan pengiriman uang rutin untuk kebutuhan hidup mereka," terang Wise.
Lebih lanjut, survei menemukan bahwa 50 persen responden masih belum menyadari adanya biaya tambahan dalam transaksi internasional, seperti mark-up pada kurs. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi finansial agar pelajar dapat membuat keputusan yang lebih bijak ketika mengirim uang ke luar negeri.
Zahid Ibrahim, YouTuber dan Mahasiswa di Ritsumeikan Asia Pacific University, membagikan pengalamannya. Sebelum pindah ke luar negeri, ia mengaku sudah merencanakan budget untuk biaya sekolah, akomodasi, dan kebutuhan sehari-hari.
"Tapi, waktu sampai di Jepang, aku tetap kaget dengan biaya hidup yang lebih tinggi dan menjadi ragu untuk mengeluarkan uang. Bahkan, aku sampai enggak mau memotong rambut. Ada juga biaya-biaya tak terduga, seperti perlengkapan kuliah tambahan," ungkapnya.
Selain itu, ia dan orang tua sering menghadapi biaya tinggi dan nilai tukar yang berubah-ubah saat kirim uang dari Indonesia ke Jepang, atau sebaliknya. Jumlah uang yang diterima seringkali lebih sedikit dari yang dikirim, yang tentu saja berdampak pada anggarannya.
"Aku tahu Wise enggak lama setelah pindah ke Jepang melalui teman dan Google. Sekarang, setiap kali aku mengirim uang atau terima uang dari luar negeri, pengirimannya hampir instan, dan aku tahu persis nilai yang diterima karena sudah diberi tahu biayanya di awal, tanpa mark-up kurs. Ini membuat pengelolaan uangku jauh lebih mudah," tambahnya.
Redaktur: Aloysius Widiyatmaka
Penulis: Haryo Brono
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 3 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 4 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 5 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
Berita Terkini
- Dishub Kota Medan luncurkan 60 bus listrik baru Minggu
- Pelatih Persija nilai pemainnya kurang antisipasi skema gol Persebaya
- Pemkab Bantul sebut pelaku usaha perikanan adalah pahlawan pangan
- Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- BNI Kantongi Gold Rank ASRRAT 4 Tahun Berturut-turut