45 Persen Pendapatan Negara untuk Bayar Utang
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Sekitar 45 persen pendapatan negara pada tahun 2025 akan habis digunakan untuk membiayai utang.
Besarnya beban pembiayaan pinjaman itu menyebabkan belanja negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin kecil.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad H Wibowo, mengatakan dalam sebuah dialog di Jakarta, Rabu (9/10), tahun depan penerimaan negara dari perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP, dan hibah yang ditetapkan 3.005 triliun rupiah, hampir sebagian besar habis untuk debt service.
Berdasarkan hitungan, dari total penerimaan negara sekitar 45 persen atau 1.353,2 triliun rupiah bakal dipakai untuk membayar utang.
Utang tersebut terdiri dari 800,3 triliun rupiah cicilan pokok utang dan 552,9 triliun rupiah untuk bunga utang.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mencari cara menaikkan pendapatan.
Lebih lanjut dikatakan, beban utang jatuh tempo 800 triliun rupiah bakal ditanggung oleh pemerintahan era Prabowo Subianto tiap tahun sejak 2025-2027.
Utang itu berasal dari pinjaman untuk menanggulangi pandemi Covid-19.
Dalam satu dekade terakhir, utang pemerintah meningkat dari 2.608,7 triliun rupiah pada 2014 menjadi 8.641 triliun rupiah saat ini.
Pada tahun depan, pemerintah berencana menambah utang lagi 775 triliun rupiah karena belanja negara yang ditetapkan sebesar 3.621,3 triliun rupiah dengan defisit anggaran sekitar 616,2 triliun rupiah.
Menurut Drajad, perlu tambahan anggaran belanja sebesar Rp300 triliun pada APBN 2025 guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Dengan misi Presiden terpilih Prabowo Subianto yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, Drajad menyebut ekonomi tahun depan perlu digenjot agar tumbuh 5,8 - 5,9 persen.
"Supaya kita punya batu loncatan untuk mengejar 6-7 persen, kemudian ke 8 persen.
Kekurangan (belanjanya) berapa? Itu masih kurang 300 triliun rupiah" katanya.
Mengingat kondisi itu, Drajad berpendapat urgensi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menjadi lebih tinggi.
BPN nantinya dirancang untuk mengandung tiga unsur transformasi, yakni transformasi kelembagaan, teknologi, dan kultur.
Ia mengakui pembentukan BPN tidak serta merta mengerek pendapatan negara dalam waktu singkat.
Namun, ia yakin BPN dapat menjadi pemicu akselerasi transformasi itu.
"Quick Win" Terbentur
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan dengan besarnya beban kewajiban pembayaran utang tahun depan, pemerintah dikhawatirkan sulit menjalankan kebijakan untuk dorong pemulihan daya beli masyarakat.
Program Quick Win Prabowo tahun pertama akan terbentur ketersediaan ruang fiskal.
"Mau jalankan makan bergizi gratis, tapi bayar utang lebih urgent karena mempengaruhi rating surat utang pemerintah," kata Bhima.
Oleh karena itu, pemerintah diminta melakukan inovasi untuk meringankan beban utang, salah satunya melalui pertukaran utang dengan program transisi energi.
Misalnya, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang bisa ditukar dengan utang atau debt swap untuk kurangi beban utang pemerintah.
"Mesir dan Jerman mencontohkan debt swap untuk transisi energi," tutup Bhima.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 3 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 4 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 5 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
Berita Terkini
- Operasi Gabungan Berhasil Memberantas Seluruh Pusat Penipuan Telekomunikasi di Myanmar
- Bawaslu DKI: RT/RW Jangan Terlibat Politik Praktis di Pilkada Jakarta
- MUF GJAW 2024 Diharapkan Jadi Katalisator Pertumbuhan Industri Otomotif Nasional
- Ini Peyebabnya Kenapa Warga Diminta untuk Mewaspadai Penyakit Kulit dan Demam Berdarah
- Indonesia dan AS Sinergis untuk Membangun Pusat Komando di IKN