Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

3 Cara Agar Pendidikan Bisa Jadi Solusi Perubahan Iklim

Foto : The Conversation/KLHK

Siswa saat mengunjungi kawasan ekowisata berbasis keanekaragaman hayati.

A   A   A   Pengaturan Font

Vivi Fitriyanti, The Purnomo Yusgiantoro Center ; Angelia Basuningtyas, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya , dan Nadira Asrifa Nasution, The Purnomo Yusgiantoro Center

Sebagai generasi yang tinggal di Bumi di masa depan, anak-anak perlu menyadari situasi Bumi semakin genting. Pemanasan global sekitar 1,2° C sejak 150 tahun lalu mengakibatkan berbagai dampak buruk bagi kehidupan: cuaca ekstrem, kebakaran hutan, pemanasan laut, hingga penurunan keanekaragaman hayati. Sebagian di antaranya sudah kita rasakan.

Perubahan suhu Bumi berisiko mengubah iklim lebih drastis lagi pada 2050. Efeknya bisa lebih parah, dan anak-anaklah yang paling berisiko merasakannya.

Nah, pendidikan dapat menjadi pintu masuk bagi anak-anak untuk mengenali situasi dan risiko tersebut. Studi menunjukkan bahwa pendidikan lingkungan yang berkualitas dapat meningkatkan kesadaran iklim, bukan hanya terhadap anak-anak, tapi juga sampai "menular" ke orang tua dan keluarga mereka. Peran ini krusial, terutama bagi Indonesia, yang hanya 47% penduduknya percaya bahwa pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia.

Kami mencoba melakukan telaah singkat dokumen Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dokumen ini adalah sekumpulan arahan materi dan kompetensi yang mesti dicapai siswa pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari usia dini hingga menengah.

Secara umum, kami mendapati literasi perubahan iklim dan energi sudah tercantum pada sejumlah mata pelajaran di semua jenjang pendidikan, dengan berbagai kata kunci, di antaranya: pemanasan global, perubahan iklim, energi alternatif, dan energi terbarukan.

Namun, arahan dalam berbagai Capaian Pembelajaran ini belum berhasil diterjemahkan menjadi sesuatu yang dekat dan relevan bagi murid. Sekolah sering mengambil contoh yang justru jauh, tidak relevan, dan parsial.

Contohnya adalah ajakan untuk melakukan 3R (mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang sampah) tanpa menelaah aspek konsumsi yang berkelanjutan di dalamnya. Ada juga target bagi siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk memahami teknologi pengolahan hasil dan pengujian mutu pertanian di tengah perubahan iklim. Realitasnya, tidak semua SMK tersebut memiliki fasilitas seperti laboratorium dan akses internet yang baik.

Indonesia perlu memperkuat pendidikan perubahan iklim di sekolah sejak dini. Menurut kami, setidaknya ada tiga langkah pembenahan yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun pihak sekolah. Harapannya, para siswa dapat mengetahui langkah-langkah terbaik sejak dini untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, ataupun beradaptasi di ruang hidup masing-masing.

1. Memperbanyak materi belajar tentang perubahan iklim

Pemerintah perlu memperbanyak materi belajar tentang krisis iklim pada mata pelajaran dalam kurikulum.

Kami mencoba melakukan telaah awal dokumen Capaian Pembelajaran dengan menggunakan kata kunci "perubahan iklim". Hasilnya, istilah perubahan iklim disebutkan 64 kali, dan tercakup dalam 32 topik dalam mata pelajaran.

Sayangnya, mayoritasnya (28 topik) adalah mata pelajaran SMK. Sisanya tersebar di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Padahal, jumlah SMK hanya sekitar 3,2% dari total 443 ribu sekolah di Indonesia.

Oleh karena itu, agenda utama reformasi pendidikan di Indonesia harus memprioritaskan usaha untuk memberikan lebih banyak paparan tentang perubahan iklim kepada 96,8% sekolah lainnya.

Upaya Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) memadukan Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) patut diapresiasi sebagai langkah awal mengenali kondisi Bumi dan interaksinya dengan kehidupan manusia.

Langkah selanjutnya adalah memperbanyak capaian pembelajaran perubahan iklim dalam IPAS sejak tingkat sekolah dasar (SD).

Materi ini tak harus selalu seragam, tapi menyesuaikan dengan kondisi di setiap daerah. Misalnya, siswa SD di daerah pesisir akan lebih cepat menangkap fenomena abrasi ataupun ombak ganas sebagai imbas perubahan iklim dibandingkan siswa yang tinggal di dataran tinggi.

Beberapa studi eksperimen menyimpulkan bahwa pembelajaran terkait isu perubahan iklim tepat dimulai pada usia SD (9-12 tahun). Pada usia ini, siswa dianggap sudah memiliki pemahaman konseptual dan kemampuan komunikasi yang baik. Siswa juga lebih mampu meniru dan mengadopsi perilaku-perilaku baik yang diamati dari proses pembelajaran topik perubahan iklim.

Indonesia dapat belajar dari Australia yang memiliki sumber materi pembelajaran berupa kumpulan studi kasus yang dapat diakses secara terbuka oleh guru dan siswa. Mereka menyediakan platform "Curious Climate" sebagai wadah anak-anak untuk bertanya seputar perubahan iklim dan dijawab langsung oleh ahlinya.

Pemerintah dapat memilah sumber daya yang tersedia, menambah sumber daya, dan meletakkannya di portal yang sama untuk menjadi platform terpadu yang dapat digunakan oleh guru dan siswa. Platform yang sudah ada milik pemerintah, yaitu Merdeka Mengajar, dapat melayani tujuan ini.

2. Pembelajaran berbasis projek

Kurikulum Merdeka mewajibkan sekolah untuk menggunakan 20-30% waktunya untuk menyelenggarakan pembelajaran berbasis projek, dengan model Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila .

Projek ini memuat isu lingkungan sebagai pilihan tema yang dapat diangkat, yaitu "Gaya Hidup Berkelanjutan". Penerapannya berbeda-beda sesuai tingkat pendidikan.

Projek dapat menjadi alat yang ampuh untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam terhadap isu perubahan iklim. Sebab, siswa diharapkan lebih aktif mencari informasi, melihat masalah, merancang projek, serta melaksanakan perencanaan tersebut secara individu maupun kelompok. Projek juga dapat mengintegrasikan ilmu alam dan sosial ke dalam kegiatan yang dilaksanakan.

Salah satu penulis artikel ini (Vivi Fitriyanti) pernah menerapkan pembelajaran berbasis projek dengan memadukan isu lingkungan dan perubahan iklim dengan seni. Selama mengerjakan projek, siswa diajak untuk melakukan studi literatur, wawancara, dan observasi secara langsung ke Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Kabupaten Bekasi.

Anak-anak kemudian merespons isu dan hasil riset yang telah mereka lakukan dengan membuat sebuah karya seni dalam berbagai bentuk, seperti: instalasi, fotografi, dan seni kerajinan jarum, yang dipamerkan kepada masyarakat umum.

Selain itu, penulis mengajak anak-anak untuk diskusi di sekolah terkait isu perubahan iklim dan mengundang pihak luar untuk berbicara terkait isu ini. Penulis dan guru lainnya juga mengajak anak-anak untuk ikut aksi langsung, yaitu parade Jeda untuk Iklim.

Hal di atas tentu saja tidak akan terjadi apabila tidak ada kepemimpinan sekolah yang membolehkan kami untuk turun ke jalan. Maka dari itu, kepemimpinan sekolah yang sadar akan perubahan iklim dibutuhkan sebagai ruang transformasi dalam menumbuhkan kesadaran perubahan iklim pada anak-anak.

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila telah diterapkan di sekitar 142 ribu sekolah di seluruh tanah air pada 2022. Seratus ribu sekolah lainnya juga diperkirakan akan bergabung pada tahun 2023. Pemerintah perlu membuat perencanaan berjangka agar setiap sekolah di seluruh Indonesia dapat menerapkan pembelajaran berbasis projek tersebut.

3. Kerja sama antarpihak

Pemerintah perlu membuka ruang kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat pendidikan perubahan iklim di sekolah.

Beberapa pihak ini, misalnya, organisasi pegiat isu lingkungan yang bisa menambahkan dan mengembangkan lebih banyak materi pengetahuan untuk guru secara gratis ke dalam platform Merdeka Mengajar.

Sektor swasta juga dapat berkontribusi dengan menyediakan program magang untuk menjadikan pembelajaran lebih kontekstual, terutama mengenalkan lebih banyak peluang kerja hijau dan memaparkan mereka pada masalah dunia nyata. Sekolah, universitas, dan perusahaan dapat bekerja sama untuk mewujudkan hal ini.

Terakhir, wali atau orang tua juga perlu berperan aktif dalam pendidikan anaknya dan mengenalkan isu perubahan iklim di rumah. Mereka dapat terlibat dalam percakapan dan diskusi yang bisa menginspirasi anak-anak.


Barry Mikhael Cavin, Content Manager Strategy and Core, GovTech Edu turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.The Conversation

Vivi Fitriyanti, Assistant Researcher, The Purnomo Yusgiantoro Center ; Angelia Basuningtyas, Doctorate Degree in English Applied Linguistic, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya , dan Nadira Asrifa Nasution, Research Assistant, The Purnomo Yusgiantoro Center

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top