Perlu Berhemat Selama Mudik, Agar Masih Bisa Balik ke Jakarta
- Libur Lebaran
- Berhemat
- Arus Mudik
- Efisiensi Anggaran
JAKARTA-Supianto memilih tidak mudik ke kampungnya tahun ini. Lelaki berusia 31 tahun ini berasal dari tempat yang jauh dari Jakarta, Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar).

Ket. Aktivitas masyatakat saat mudik
Doc: istimewa
Awalnya lulusan Filsafat Islam itu ingin mudik ke Sulbar, sebab terakhir ke kampung tahun 2021 silam, namun rencana itu batal karena ekonomi sedang tidak baik baik saja.
Supi merupakan pekerja media yang mana kantornya bergantung pada belanja iklan pemerintah dan swasta, namun efisiensi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) membuat belanja iklan anjlok.
Tunjangan hari raya (THR) ujarnya memang membantu, namun tidak untuk jangka waktu lama. "Kalau saya pulang, bawa tiga orang, saya, istri dan anak. Pulang pergi (PP) bisa 12 juta dengan menghitung harga tiket sekarang,"ujar Supi pada Koran Jakarta, Sabtu (29/3).
Angka itu sudah menghitung biaya tiket pesawat Jakarta-Makassar, lalu menempuh perjalanan darat 5-6 jam ke Polewali Mandar (Sulawesi Barat). Namun, belum menghitung biaya lain lain yang mungkin sama dengan harga tiket. "Kalau saya mudik ke Sulbar, bisa bisa ga balik lagi ke Jakarta,"ungkap Supi setengah bercanda.
Beruntung Supi punya mertua asal Kendal, Jawa Tengah, yang ia anggap sudah menjadi orang tuanya sendiri, sehingga untuk mengobati kerinduan pada orang tuanya yang jauh di Sulbar, cukup ke Kendal.
"Ke Kendal murah meriah (dibanding ke Sulbar). Tiga orang cukup sejuta,"papar Supi. Kali ini Supi memilih berlibur ke Kendal, toh serasa pulang kampung sendiri.
Anda mungkin tertarik:
Tak beda jauh dengan Supi, Bonavantura Purnama memilih tetap di Jakarta. Pria berusia 36 tahun itu memilih tetap di Jakarta meskipun kantornya libur lebaran hingga 7 April.
Bukan tanpa alasan mengapa pria single itu tidak mudik. Harga tiket pesawat ke kampungnya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah di atas 2,5 juta rupiah. Artinya, untuk tiket pesawat saja PP, sekitar 5 juta rupiah. Belum biaya lainnya.
"Saya baru pulang kampung Desember lalu, kalau pulang lagi biaya tambah bengkak. Perantau tidak boleh keseringan pulang. Kalau sering pulang ngapain merantau,"selorohnya.
Lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu bercerita, kantornya berkaitan erat dengan industri otomotif, sementara data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) penjualan mobil masa lebaran 2025 turun 15-20 persen dibanding masa normal.
"Artinya itu berpengaruh juga ke kantor kami. Kami harus menahan belanja besar termasuk pulang kampung agar masih bisa survive,"ucap Bona.
Tingkatkan Daya Beli Masyarakat
Supi dan Bona contoh kelas menengah rentan, yang apabila ekonomi nasional terganggu saja pekerjaannya bisa kena imbasnya. Makanya pemerhati masalah sosial ekonomi Awan Santosa mendorong pemerintah untuk merealokasi APBN untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Dia berujar, banyak masyarakat yang menahan diri untuk belanja besar, termasuk untuk mudik yang menelan biaya tinggi atau juga membeli kendaraan baru. Mereka lebih memilih membuat tabungan agar asap dapur masih tetap ngepul.
"Jangan sampai efisiensi justru menghambat perputaran ekonomi, jadi efisiensi justru dapat menjadi instrumen redistribusi pendapatan dan peredaran ekonomi yang mengangkat kesejahteraan rakyat,"ucapnya.