Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 10 Mar 2023, 13:00 WIB

20 Tahun Pasca-invasi AS, Irak Masih Jauh dari Sistem Demokrasi Liberal

Tentara AL AS membawa potret presiden Irak Saddam Hussein di bandara internasional di Baghdad dalam foto yang diambil pada 14 April 2003.

Foto: AFP/ROMEO GACAD

BAGHDAD - Dua puluh tahun setelah invasi AS ke Irak yang menggulingkan Saddam Hussein, negara kaya minyak itu tetap terluka parah oleh konflik. Meski kini lebih dekat ke AS, negara ini masih jauh dari sistem demokrasi liberal yang dibayangkan Washington.

Perang yang diluncurkan Presiden George W. Bush setelah serangan 11 September dikenang karena serangan yang "mengejutkan dan mencengangkan", penggulingan patung raksasa Saddam, dan pergolakan berdarah setelahnya.

Keputusan invasi pada 20 Maret 2003 untuk membongkar negara Irak, partai dan aparat militernya, memperdalam kekacauan di negara itu yang memicu pertumpahan darah selama bertahun-tahun, hingga kemudian muncul kelompok Islamic State(IS).

Pasukan AS yang didukung oleh pasukan Inggris, tidak pernah menemukan senjata pemusnah massal yang menjadi pembenaran untuk perangnya. Hingga akhirnya mereka meninggalkan negara itu. Irak telah dibebaskan dari seorang diktator tetapi dirusak oleh ketidakstabilan dan kini di bawah pengaruh musuh bebuyutan Washington, Iran.

"AS sama sekali tidak memahami sifat masyarakat Irak, sifat rezim yang mereka gulingkan," kata Samuel Helfont, asisten profesor strategi di Sekolah Pascasarjana Angkatan Laut di California.

Bush, yang ayahnya berperang dengan Irak pada 1990-91 setelah serangan Saddam di Kuwait, menyatakan ingin memaksakan "demokrasi liberal", tetapi dorongan itu mereda bahkan jika Saddam digulingkan dengan cepat, kata Helfont.

"Membangun demokrasi membutuhkan waktu dan membangun demokrasi tidak menciptakan utopia dalam semalam," kata Hamzeh Haddad, peneliti tamu di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.

Alih-alih menemukan senjata nuklir, biologi, atau kimia, serangan oleh koalisi internasional pimpinan AS membuka kotak Pandora, membuat trauma bagi warga Irak, dan mengasingkan sekutu tradisional AS.

Kekerasan besar berkobar lagi di Irak setelah pengeboman mematikan pada Februari 2006 di sebuah kuil Muslim Syiah di Samarra utara Baghdad, yang memicu perang saudara selama dua tahun.

Pada saat AS menarik diri di bawah pemerintahan Barack Obama pada 2011, lebih dari 100.000 warga sipil Irak telah terbunuh, kata kelompok Irak Body Count.AS mengklaim hampir 4.500 kematian di pihak mereka.

Kekacauan dan Korupsi

Situasi Irak makin mencekam ketika kelompok IS mendeklarasikan "kekhalifahan" dan pada 2014 yang menyapu hampir sepertiga negara itu.

Saat ini sekitar 2.500 pasukan AS bermarkas di Irak, bukan sebagai penjajah, tetapi sebagai penasehat, peran non-tempur dalam koalisi internasional melawan ISIS yang sisa-sisa selnya terus melancarkan pengeboman sporadis dan serangan lainnya.

Kekerasan telah mengubah masyarakat di Irak yang telah lama menjadi rumah bagi beragam kelompok etnis dan agama.Minoritas Yazidi menjadi sasaran dalam kampanye 'genosida', dan sebagian besar komunitas Kristen telah diusir.

Ketegangan membara antara pemerintah federal Bagdad dan otoritas otonom Kurdi di Irak utara, terutama terkait masalah ekspor minyak.

Pada Oktober 2019, pemuda Irak memimpin gerakan protes nasional yang melampiaskan rasa frustrasi mereka pada pemerintahan yang tidak kompeten, korupsi, dan adanya campur tangan Iran, sehingga memicu tindakan keras berdarah yang menewaskan ratusan orang.

Meskipun cadangan minyak dan gas Irak sangat besar, sekitar sepertiga dari 42 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan, 35 persen kaum mudanya menganggur, kata PBB.

Politik tetap kacau. Parlemen yang membutuhkan waktu satu tahun dirusak oleh pertikaian pasca-pemilihan, sebelum dilantik dalam pemerintahan baru Oktober lalu.

Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani berjanji akan memerangi korupsi di Irak, yang menempati negara itu di peringkat paling bawah (157 dari 180 negara) dalam indeks persepsi korupsi Transparency International.

"Setiap orang Irak bisa memberitahu Anda bahwa korupsi mulai berkembang ... pada 1990-an" ketika Irak berada di bawah sanksi internasional," kata Haddad. "Korupsi menjadi makin jelas sekarang "karena Irak terbuka untuk dunia".

Irak dihantam oleh tantangan lain, mulai dari infrastrukturnya yang hancur dan pemadaman listrik setiap hari hingga kelangkaan air dan kerusakan akibat perubahan iklim.

Namun, kata Haddad, Irak saat ini adalah negara menuju demokrasi yang membutuhkan waktu untuk matang, karena "demokrasi itu kotor".

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.