Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 09 Mar 2020, 10:00 WIB

Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Harus Diminimalisir

TITI ANGGRAINI, Direktur Perludem

Foto: ISTIMEWA

JAKARTA - Penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada) diharapkan dapat meminimalisir terjadinya sengketa di tahapan pencalonan saat pesta demokrasi digelar. Jika kerawanan tersebut tidak diminimalisir, dikhawatirkan akan terjadi secara berlarut-larut, bahkan berdampak pada keberlanjutan tahapan berikutnya.

"Sengketa pencalonan bisa berlarut-larut dengan mempertanyakan keterpenuhan persyaratan. Pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan dianggap tidak profesional jika tidak mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, di tahun 2015, terdapat Pilkada di beberapa daerah yang ditunda karena berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pencalonan," kata Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini kepada Koran Jakarta, Minggu (8/3).

Menurut Titi, terdapat beberapa potensi kerawanan lain dalam tahapan pencalonan yang menimbulkan sengketa hukum dan benturan antarpendukung. Contohnya, jika terdapat dualisme kepengurusan partai saat mencalonkan kadernya menjadi peserta Pilkada. Hal itu akan berdampak pada potensi konik antarpendukung.

Titi menuturkan dalam tahapan tersebut pun erat dengan praktik sentralisasi pencalonan. Dalam kesempatan itu, rekomendasi pencalonan diwajibkan menyertakan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Rekomendasi tersebut seringkali tidak sejalan dengan aspirasi daerah.

"Beberapa hal yang krusial di masa pencalonan itu akan berdampak pada ketidakpuasan hasil verikasi KPU dalam menetapkan peserta Pilkada. Ketidakpuasan itu alih-alih menempuh jalur hukum, lebih parah lagi jika disalurkan melalui cara yang mengarah kepada kekerasan," imbuh Titi.

Pemutakhiran DPT

Titi menyoroti proses pemutakhiran data pemilih tetap (DPT) menjadi persoalan berulang dalam Pilkada. Persoalan tersebut terjadi akibat peserta Pilkada atau partai politik yang tidak mengawal pemutakhiran DPT.

"Mereka cenderung baru peduli kualitas DPT di ujung proses atau saat ada banyak ketidakpuasan dari publik yang tidak diakomodir dalam DPT. Persoalan tersebut bisa menjadi potensi gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Titi.

Selain itu, terdapat persoalan dalam tahapan rekapitulasi yaitu ketika hasil suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dikirim ke tingkatan yang lebih tinggi. Hal tersebut, sambung Titi, rentan adanya manipulasi dan kecurangan. "Ketika hasil Pilkada sudah dihitung di TPS dan dikirim ke tingkatan yang lebih tinggi, di situ potensi kecurangan banyak terjadi," katanya.

Oleh karena itu, Titi berharap penyelenggara Pilkada harus menjaga dan memastikan profesionalisme dan integritas seluruh jajarannya. Penting bagi jajaran KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memiliki sistem yang terintegrasi dalam mengawasi kinerja jajarannya, khususnya ketika menyelenggarakan tahapan dalam Pilkada.

"Kontrol terhadap profesionalisme atau integritas penyelenggara itu sangat penting. Pengawasan internal oleh KPU dan Bawaslu harus diperkuat. Jangan menunggu terjadi masalah baru bergerak. Tapi, justru kontrol secara berjenjang itu menjadi sangat penting," tukasnya.

Titi menilai peserta Pilkada pun dapat berkompetisi secara kompetitif untuk meminimalisir persoalan dalam Pilkada. Dalam arti, peserta harus patuh pada aturan dan saling mengontrol satu sama lain secara proporsional.

"Sesama peserta Pilkada saling mengontrol, potensi kecurangan itu bisa ditekan. Jangan sampai justru pelanggaran oleh peserta Pilkada yang satu menjadi legitimasi melakukan pelanggaran bagi yang lain," kata Titi.

Terakhir, tutur Titi, masyarakat dapat mengambil peran dalam menjaga dan mengawal Pilkada. Upaya tersebut dapat meningkatkan peran dan bagian keterbukaan penyelenggara yang lebih profesional. dis/N-3

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.