Saatnya Moratorium dan Minta Pemotongan Utang
MORATORIUM PEMBAYARAN UTANG I Deretan permukiman semi permanen penduduk miskin dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta. Akibat pandemi Covid-19, Indonesia dipastikan memasuki resesi ekonomi. Pemerintah tidak perlu sungkan untuk minta keringanan kepada kreditor berupa pemotongan utang.
Foto: ANTARA/APRILLIO AKBAR» Moratorium dan pemotongan utang baru harus dilakukan agar tidak default.
» Pembiayaan jangan terlalu bergantung pada utang, tapi optimalkan menagih piutang negara.
JAKARTA - Seruan Bank Dunia akan adanya potensi krisis baru akibat pandemi Covid-19 harus diwaspadai dan dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam mengelola keuangan negara. Sebab, dari seruan tersebut, setidaknya ciri-ciri negara yang ekonominya mulai memasuki spiral pertumbuhan ekonomi lemah mirip dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Tiga poin penting yang disampaikan Presiden Bank Dunia, David Malpass, itu terlihat pada defisit anggaran yang besar, pembayaran utang membebani keuangan negara, serta melonjaknya kredit macet di bank.
Perekonomian nasional Indonesia sendiri, defisit anggarannya sangat besar yaitu diperkirakan mencapai 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pembayaran bunga utang tahun ini diproyeksikan sebesar 338,8 triliun rupiah. Begitu juga ratusan triliun kredit yang berpotensi macet, namun direlaksasi melalui restrukturisasi. Sementara total utang pemerintah per Agustus 2020 mencapai 5.594,9 triliun rupiah.
Menyikapi perkiraan ketidakpastian ekonomi yang meningkat itu, Bank Dunia mengimbau negara kreditor untuk memberikan keringanan pembayaran utang termasuk kemungkinan membatalkan utang atau moratorium kepada negara penerima pinjaman.
"Kita harus mengurangi tingkat utang, bisa melalui keringanan atau pembatalan utang," kata Malpass kepada harian bisnis Handelsblatt dalam sebuah wawancara.
Selain Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Dewan Eksekutif pada 2 Oktober lalu kembali menyetujui penangguhan pembayaran utang 28 negara anggotanya untuk enam bulan kedua melalui skema yang dikenal dengan Catastrophe Containment and Relief Trust (CCRT).
Persetujuan tersebut mengikuti tahap enam bulan pertama terhitung sejak 14 April hingga 13 Oktober 2020 yang disetujui pada 13 April 2020, dan memungkinkan pencairan dana hibah dari CCRT untuk pembayaran pelunasan utang yang memenuhi syarat yang jatuh tempo kepada IMF dari 14 Oktober 2020 hingga 13 April 2021. Dananya diperkirakan mencapai sebesar SDR 161 juta atau sekitar 227 juta dollar AS.
Dengan tunduk pada ketersediaan sumber daya yang cukup di CCRT, keringanan pembayaran utang dapat diberikan untuk periode total dua tahun, hingga 13 April 2022 yang diperkirakan mencapai hampir SDR 680 juta atau 959 juta dollar AS.
Bantuan pada pembayaran utang akan membebaskan negara-negara anggota IMF dari langkanya sumber daya keuangan untuk membiayai upaya medis memerangi dampak pandemi Covid-19.
Dalam persetujuan tahap pertama, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, meluncurkan upaya penggalangan dana yang mendesak agar CCRT bisa memberikan keringanan pembayaran utang hingga maksimal dua tahun.
"Ini akan membutuhkan komitmen sekitar SDR satu miliar atau sekitar 1,4 miliar dollar AS," kata Georgieva.
Sejauh ini, donatur telah memberikan kontribusi hibah dengan total sekitar SDR 360 juta, termasuk dari Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Swiss, Norwegia, Tiongkok, Meksiko, Swedia, Bulgaria, Luksemburg, dan Malta.
Paling Rentan
Para Direktur Eksekutif lembaga tersebut mengatakan CCRT telah memberikan keringanan utang atas kewajiban kepada IMF yang jatuh tempo selama 14 April hingga 13 Oktober 2020 untuk membantu anggota termiskin dan paling rentan mengatasi pandemi dan akibatnya.
Para direktur sependapat bahwa keringanan utang membantu negara penerima memberikan kesehatan darurat, dukungan sosial dan ekonomi untuk mengurangi dampak pandemi pada kehidupan dan mata pencaharian.
Dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada maka para direktur eksekutif menyetujui bantuan hibah kepada 28 negara anggota yang memenuhi syarat dengan pembayaran utang yang jatuh tempo selama 14 Oktober 2020 hingga 3 April 2021.
Adapun negara-negara yang mendapat keringanan itu, antara lain Afghanistan, Benin, Burkina Faso, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo DR, The Gambia, Guinea, Guinea-Bissau, Haiti, Liberia, Madagaskar, Malawi, Mali, Mozambik, Nepal, Nigeria, Rwanda, São Tomé and Príncipe, Sierra Leone, Solomon Islands, Tajikistan, Togo, dan Yaman.
Menanggapi seruan Bank Dunia dan IMF itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, kepada Koran Jakarta, Selasa (6/10), mengatakan pemerintah RI harus berupaya memulihkan ekonomi dengan mendorong moratorium utang yang membebani keuangan negara.
"Seruan Bank Dunia harus jadi momentum meringankan keuangan dengan mengajukan pemotongan utang karena Indonesia akan segera memasuki resesi ekonomi, jangan sungkan untuk mengajukan," kata Badiul.
Moratorium utang, jelasnya, lebih tepat ketimbang terus menarik pinjaman untuk membiayai defisit APBN yang membengkak. Jika tidak diikuti dengan strategi pengelolaan utang yang tepat, akumulasi utang akan terus membengkak dan berpotensi menjadi jebakan utang (debt trap).
"Moratorium dan pemotongan utang harus dilakukan agar tidak mengarah ke kondisi yang buruk seperti gagal bayar atau default. Default menyebabkan reputasi negara lebih buruk ketimbang meminta moratorium," katanya.
Terlalu Terlena
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center Budgetting Analys, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan saat ini pemerintah sudah terlena dengan cara mudah yaitu menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).
"Mana mau pemerintah minta moratorium, yang ada dibenak mereka, kalau masih bisa terbitkan SUN atau cari utang baru, buat apa minta moratorium, tidak dapat utang baru, masih ada BI untuk burden sharing. Sampai kiamat pun mereka tidak akan mau minta moratorium. karena dianggap kertas utang Indonesia masih ada yang mau beli," ujar Uchok.
Pemerintah, katanya, seharusnya tidak berpangku kepada utang, tetapi mencari sumber pembiayaan lain seperti menggali piutang negara yang belum tertagih, contohnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Piutang pemerintah sebenarnya masih banyak, tapi abai menagih sehingga banyak yang pura-pura lupa karena piutang-piutang itu punya kekuatan politik, sehingga pemerintah tidak bisa menekan. Buku lama yang mencatat piutang BLBI itu seharusnya dibuka dan ditagih lagi," tutupnya. n uyo/SB/E-9
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Djati Waluyo, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Hati Hati, Banyak Pengguna yang Sebarkan Konten Berbahaya di Medsos
- 2 Buruan, Wajib Pajak Mulai Bisa Login ke Coretax DJP
- 3 Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat
- 4 Cegah Pencurian, Polres Jakbar Masih Tampung Kendaraan Bagi Warga yang Pulang Kampung
- 5 Tanda-tanda Alam Apa Sampai Harimau Sumatera Muncul di Pasaman dengan Perilaku Unik