Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 09 Agu 2018, 01:00 WIB

Masih Adakah yang Berani Berkata Benar

Foto:

Judul : Parrhesia: Berani Berkata Benar

Penulis : Michel Foucault

Penerbit : Marjin Kiri

Cetakan : I, Mei 2018

Ukuran : 12 + 19 cm

Tebal : x + 209 hlm

ISBN : 978-979-1260-78-7

Michel Foucault (1926-1984) salah satu pemikir terbesar Prancis abad ke-20. Teoriteorinya mengurai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan serta penggunaannya sebagai kontrol sosial melalui institusi kemasyarakatan. Dia dikelompokkan sebagai filsuf pascamodern dan pascastruktural, meski menampiknya. Ia lebih suka menyebut pemikirannya sebagai kritik modernitas.

Karya-karya Foucault berpengaruh besar pada bidang kajian budaya, sosiologi, feminisme, dan teori kritis. Buku bertajuk Parrhesia: Berani Berkata Benar ini diterjemahkan dari bahasa Inggris dan disusun berdasarkan rekaman kaset enam ceramahnya di Universitas California, Berkeley, pada musim gugur 1983. Ini seminarnya tentang "Wacana dan Kebenaran" (hlm vii).

Kata parrhesia muncul pertama dalam kesusastraan Yunani pada karya-karya Euripides sekitar 484-407 sebelum Kristus. Parrhesia umumnya diterjemahkan sebagai berbicara bebas (free speech). Pengguna parrhesia atau orang yang berbicara kebenaran disebut parrhesiastes, sedangkan perbuatannya disebut parrhesiazomai atau parrhesiazesthai (hlm 2).

Parrhesiastes mengatakan benar karena tahu benar. Ia tahu benar karena memang benar. Artinya, ada koinsidensi yang presisi antara kepercayaan dan kebenaran. Masalahnya, tak semua yang berbicara kebenaran serta-merta dianggap telah menerapkan parrhesia. "Orang (baru) dikatakan menerapkan parrhesia hanya jika terdapat risiko atau bahaya baginya dalam mengungkap kebenaran, (hlm 7-8).

Misalnya, guru tata bahasa menyampaikan kebenaran kepada anak didik. Dia bukan seorang parrhesiastes. Namun, tatkala seorang filsuf berbicara di hadapan seorang tiran dan menegasikan, tirani tidak sejalan dengan keadilan. Sang filsuf telah berbicara benar. Dia percaya telah berbicara benar. Lebih dari itu, juga mengambil risiko.

Risiko yang mungkin ditanggung parrhesiastes boleh jadi beragam rupa. Yang pasti, bahaya dapat muncul dari kenyataan, kebenaran kata- kata yang mungkin menyakiti atau menimbulkan amarah mitra wicara (interlocutor).

Untuk memahami hakikat kebenaran dan praktiknya dalam kehidupan, termasuk dalam sistem demokrasi, buku ini mengajak mencermati epos Yunani klasik. Ada enam drama tragedi karya Euripides yang dikaji Foucault. Mereka adalah Phoinissai, Hippolytos, Bakkhai, Elektra, Ion, dan Orestes. Dengannya, Foucault berharap dapat memberi dasar-dasar argumentatif penerapan parrhesia dari tempat yang disebut-sebut sebagai cikal bakal konsep demokrasi.

Melalui kisah Ion, misalnya, Foucault menunjukkan kebenaran dan pengungkapannya memiliki keterkaitan dengan kehormatan diri. Kebenaran tak mungkin dinyatakan oleh pribadi yang menyimpan cacat atau cemar. Kebenaran hanya dapat dipercaya bila disampaikan "orang yang tidak tercela dalam prinsip dan integritas" (hlm 76)

Dalam demokrasi, problem berikutnya cara mengenali yang mampu berbicara benar.

Meskipun dijamin konstitusi, mestinya kebebasan untuk berbicara tak lantas boleh menyatakan apa saja. Ada perbedaan antara menyampaikan kebenaran dan kenyinyiran. Dalam Yunani klasik, kenyinyiran diistilahkan sebagai athuroglossos, terjemahan dari "mulut seperti mata air yang mengucur." Hal tersebut merujuk pada orang yang gemar berbicara apa saja, tanpa tahu kebenarannya.

Orang nyinyir seperti itu hampir selalu muncul dalam sistem demokrasi. Peredaran hoaks yang meluas buktinya. Dalam konteks ini, merujuk analogi Yunani tentang mulut, gigi, dan bibir sebagai filter kebenaran berwicara. Mestinya, "Jika lidah tidak patuh atau menahan diri, kita dapat ... menggigitnya sampai berdarah" (hlm 68). Artinya, setiap orang harus mengubah hidup agar perkataan dan perbuatannya selaras dan mengandung kebenaran (hlm 119-120).

Diresensi Febrie G Setiaputra, Lulusan Fakultas Sastra, Universitas Jembe

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.