Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Waspadai Resistensi Antimikroba, Pandemi Senyap Setelah Covid-19

Foto : istimewa

antimikroba

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Belum lama ini, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) secara resmi mencabut status darurat kesehatan Covid-19 di seluruh dunia. Pengumuman berakhirnya status darurat kesehatan tersebut merupakan seruan WHO kepada para pemimpin negara di dunia untuk beralih dari mode darurat ke mode penanganan Covid-19 bersamaan dengan isu-isu kesehatan lainnya.

Pada kesempatan lain, WHO juga mendaftar sepuluh isu kesehatan paling penting di dunia dan termasuk di dalamnya pandemi senyap resistensi antimikroba. Kondisi ini berupa berkurangnya kemampuan obat-obatan antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit di tubuh pasien.

Salah satu penyebabnya adalah penggunaan antimikroba, termasuk antibiotik dan antijamur, yang tidak tepat baik dari sisi indikasi, dosis, dan rute (cara) pemberiannya. Namun, tidak jarang pula ditemukan pasien yang kondisi badannya dari semula memang tidak dapat merespon antibiotik yang diberikan. Laporan WHO menyebut resistensi antimikroba telah menyebabkan sekitar 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019.

"Resistansi antimikroba adalah ancaman serius yang jarang disadari, bagaikan pandemi senyap. Padahal, kondisi ini dapat terjadi di mana pun, termasuk di bagian rumah sakit yang diawasi ketat seperti di ruang perawatan intensif (intensive care unit/ICU). Pasien yang dirawat di ICU sedang dalam kondisi kritis dan biasanya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, menjadikan mereka rawan terhadap risiko AMR," kataDokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Subspesialisasi Intensive Caredr. Pratista Hendarjana, SpAn-KIC, melalui keterangan tertulis, Rabu (28/6)

"Penggunaan antibiotik dan antijamur, termasuk di ICU, harus selalu dilakukan secara rasional dan bijak untuk mencegah risiko pasien mengalami resistensi antimikroba, sehingga infeksi lebih sulit disembuhkan, waktu perawatan pun jadi lebih lama, dan memperbesar biaya perawatan di rumah sakit,"lanjut dr. Pratista.

Umumnya, keahlian tenaga kesehatan terkait akan menjadi salah satu faktor penentu dalam upaya pencegahan resistensi antimikroba di ICU. Namun, diperlukan pula peran serta pasien dan anggota keluarga yang mendampingi perawatan di rumah sakit.

"Komunikasi yang efektif antara pasien atau anggota keluarganya dengan tenaga kesehatan dapat membantu menekan risiko terjadinya resistensi antimikroba di ICU, bahkan meningkatkan kualitas perawatan secara umum," kata dr. Pratista.

Komunikasi dua arah ini akan memungkinkan keluarga pasien lebih sadar dan paham akan risiko terjadinya resistensi antimikroba. Pemahaman ini tentunya berkontribusi pada diskusi lanjutan seperti penentuan tujuan perawatan, penjelasan dan pengambilan keputusan mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan, hingga berujung pada penggunaan antimikroba secara rasional yang akan menekan risiko AMR di ICU.

"Pasien dan keluarganya berhak untuk bertanya, serta mendapatkan informasi dan edukasi yang memadai mengenai alasan, jenis, dosis, lama penggunaan, manfaat, dan risiko terkait penggunaan antimikroba di ICU. Selain itu, tenaga kesehatan juga berkewajiban memberi semua informasi kepada pasien dan kerabat dekat pasien mengenai penyakit pasien (berdasarkan diagnosis), tindakan medis yang perlu dilakukan dan komplikasi yang kemungkinan terjadi, serta tindakan medis alternatif yang dapat dilakukan serta risikonya," kata dr. Pratista

Pada akhirnya, komunikasi yang efektif ini akan membantu mewujudkan penggunaan antimikroba yang bijak dan rasional, serta mendukung perawatan yang lebih jitu di ICU, yakni tepat waktu (right time), tepat pasien (the right patient condition), dan tepat guna (the right use).


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top