Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketahanan Pangan I Dalam Peta Ketahanan Pangan Global, hingga 2080, RI Masih Impor Pangan

Waspadai Jebakan Impor Pangan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah perlu belajar dari Australia, Thailand, dan Vietnam yang berhasil menerapkan skema pelibatan korporasi dalam pengelolaan pangan sehingga membuat para ahli-ahli pertanian turun ke sawah.

Jakarta - Pemerintah diminta melakukan terobosan di sektor pertanian demi mengeluarkan RI dari jebakan impor pangan hingga 2080. Pasalnya, dalam peta ketahanan pangan global, RI merupakan negara dengan tingkat ketahanan atau food security sangat rentan. Tercatat, hingga 2080, kebutuhan pangan RI diperkirakan masih bergantung pada impor.

Saat ini saja, tanpa ada gejolak musim seperti kemarau panjang, Indonesia tetap saja mengimpor beras, apalagi bila terjadi kemarau panjang. Bahkan, hingga saat ini, pemerintah belum memiliki jurus ampuh menghadapi persoalan-persoalan tersebut, sementara ke depannya masalah sektor pertanian kian bertambah.

Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac FAO-UN, Ratno Soetjiptadie, menegaskan terobosan yang dimaksudkan, seperti yang dilakukan pemerintah dengan membentuk PTPN baik PTPN Karet, PTPN teh, PTPN Kebut hingga sawit. Membentuk PTPN artinya melibatkan manajemen dalam pengelolaan pangan RI.

Skema seperti inilah yang dilakukan pemerintah Australia, Thailand, dan Vietnam. Skema ini melibatkan korporasi dalam pengelolaan pangan sehingga bisa ekspor. Negara-negara tersebut membentuk skema yang membuat para ahli-ahli pertanian turun ke sawah.

"Dengan segala keahlian yang mereka miliki, mereka bekerja menggenjot produksi. Mereka dibantu teknologi, mereka paham bagaimana menangkal hama. Adapun petani sebagai pemilik lahan hanya menunggu saja. Mereka seperti bos, para doktor pertanian yang bekerja," tegas Ratno dalam diskusi soal Impor Pangan, di Jakarta, Senin (9/7).

Dilanjutkan Ratno, di RI, meskipun ada kampus pertanian terkemuka, tetapi ahli pertaniannya tidak mau bekerja di sektor pertanian karena tidak ada yang bisa menggajinya. Petani tidak mempunyai uang untuk menggajinya. "Skema PTPN tadi dijamin mampu membayar ahli-ahli ini karena memiliki manajemen," kata Ratno.

Ratno mengatakan pemerintah tidak bisa mengandalkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan bantuan alat mesin pertanian (Alsintan) untuk mengurangi impor. Pasalnya, kekuatan Gapoktan juga tidak seberapa.

Bahkan, terkait Alsintan, 40 juta petani kecil RI mayoritas pendidikan SD. Mereka rata-rata tidak tahu memperbaiki ketika teknologi bantuan pemerintah rusak, sehingga itu hanya efektif digunakan setahun, setelah itu rusak.

Ratno memperingatkan tantangan pertanian ke depan semakin berat. Itu tidak bisa hanya diatasi dengan teknologi, perlu pengetahuan termasuk cara mengatasi kerusakan tanah, masalah kemarau panjang serta menciptkan benih itu produktif.

"Hal inilah yang petani tidak paham, sehingga butuh sarjana pertanian," tegasnya.

Ratno menegaskan pengelolaan pangan terbilang ironi, karena tidak ada PTPN Padi, PTPN, jagung, hingga PTPN kedelai. Kenapa tidak belajar dari sawit, sehingga sangat kuat dan bisa diekspor. Demikian juga dengan PTPN teh dan karet, sehingga RI bisa ekpor teh dan karet.

Perlu Bersinergi

Secara terpisah, dari Brebes, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menyatakan perlu adanya sinergi yang baik antara Bulog dengan pengusaha, perbankan, dan gapoktan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan swasembada pangan di Indonesia.

"Sinergitas itu penting karena untuk membangun sesuatu tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi perlu adanya kerja sama dengan pihak lain," jelas Buwas.

ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top