Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Komoditas Global | Pemerintah Perlu Hitung Kembali Subsidi Energi agar Fiskal Tidak Membengkak

Waspadai Gejolak Minyak Dunia

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah perlu mengantisipasi risiko kenaikan harga minyak mentah dunia sebagai dampak konflik Iran ke Israel. Bahkan, kondisi tersebut diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang sudah menembus angka 16 ribu rupiah per dollar AS.

"Mengamati pergerakan harga minyak dunia yang terus menanjak tajam sejak awal 2024, apalagi pascakonflik Iran-Israel, pemerintah perlu segera memikirkan langkah-langkah antisipatif," ujar anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, di Jakarta, Selasa (16/4).

Dilanjutkannya, kondisi tersebut semacam triple shock karena terjadi di tengah kebutuhan minyak dan gas (migas) dalam negeri yang naik di saat momentum Ramadan dan Idul Fitri. Kondisi makin diperparah dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS.

Dia memperingatkan, sebagai negara net importer migas, kenaikan harga migas dunia akan berdampak negatif bagi APBN. Terlebih lagi, ketika kenaikan tersebut berbarengan dengan lonjakan permintaan di dalam negeri serta penguatan kurs dollar AS terhadap rupiah.

Sebagai informasi, harga minyak WTI hari ini sebesar 85,6 dollar AS per barel, terus naik sejak awal tahun, dari harga yang sebesar 70 dollar AS per barel atau naik sebesar 22 persen. Angka yang lumayan besar, jauh di atas asumsi makro APBN tahun 2024 yang hanya sebesar 82 dollar AS per barel. "Padahal, Menteri ESDM baru saja menetapkan ICP pada Maret 2024 sebesar 838 dollar AS per barel (2 April 2024)," jelasnya.

Mulyanto minta agar langkah antisipatif pemerintah tersebut tidak mengambil opsi kebijakan yang merugikan rakyat kecil seperti kenaikan harga BBM atau gas LPG bersubsidi. "Langkah antisipasinya jangan malah mengorbankan rakyat dan meningkatkan inflasi," tegasnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengucapkan konflik antara Iran dan Israel berpotensi mengerek harga minyak dunia. Karena itu, pemerintah menyiapkan berbagai skenario yang bisa diambil untuk meredam dampak dari kenaikan harga minyak tersebut.

Arifin menjelaskan jika konflik Iran dan Israel berkepanjangan, kawasan di Timur Tengah bisa ikut memanas. Hal tersebut bisa mengganggu kargo-kargo yang berada di Terusan Suez, Selat Hormuz, termasuk pengiriman minyak dunia yang diimpor dari Timur Tengah ke Indonesia.

Pemerintah ucapnya masih memantau keadaan dan berharap eskalasi Iran dan Israel berhenti sehingga tidak berdampak pada kenaikan harga minyak dunia. "Kita berharap jangan sampai seperti kaya Covid-19 dulu, harga minyak itu di atas 100 dollar AS," papar Arifin.

Penyesuaian Subsidi

Sementara itu, Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teuku Riefky, memprediksi akan terjadi penyesuaian subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri akibat konflik Iran-Israel. "Kalau konfliknya cukup besar maka beban subsidi akan makin besar, dan mungkin perlu adanya tambahan atau penyesuaian lebih lanjut dari subsidi BBM," kata Riekfy di Jakarta, awal pekan ini.

Baca Juga :
Rupiah Masih Tertekan

Menurut dia, meningkatnya harga energi secara signifikan telah terjadi sebelumnya. Kondisi tersebut mengakibatkan pembengkakan fiskal akibat subsidi energi. Hal itu yang membuat dia memprediksi pemerintah akan mengambil kebijakan fiskal terkait subsidi energi untuk memitigasi dampak konflik Iran-Israel.

Namun, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, menjamin harga bahan bakar minyak (BBM) tidak berubah hingga Juni 2024, meskipun saat ini terjadi eskalasi konflik antara Iran dengan Israel.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top