Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Warga Desa di Kenya Pulihkan Tanah yang Rusak dengan Bakau

Foto : AFP/Simon MAINA

Tanam Bakau l Perempuan warga desa sekitar kawasan konservasi sungai, sedang menanam pohon bakau di tepi Sungai Sabaki di Malindi, Kenya, beberapa waktu lalu. Warga setempat menanam bakau untuk memulihkan tanah di bagian muara sungai terpanjang kedua di Kenya ini.

A   A   A   Pengaturan Font

Di sepanjang tepi sungai yang rusak akibat penebangan, Joseph Mwandenge Mangi, mengacungkan telunjuknya pada sebuah pohon bakau, spesies tumbuhan yang dulu berlimpah di hutan bakau tempat bertemunya Sungai Sabaki dengan laut.

"Ini yang terakhir. Tidak ada lagi yang tersisa," kata pria Kenya berusia 42 tahun, yang sudah lama menetap di muara sungai itu dan tampaknya memiliki pengetahuan ensiklopedis tentang flora dan fauna di sana.

Pohon yang masih hidup adalah pengingat bagi komunitas lokal yang bekerja keras untuk memulihkan ekosistem kritis ini menjadi sehat kembali dan menebus penjarahan masa lalu.

Selama beberapa generasi, penduduk desa yang tinggal di dekat muara Sungai Sabaki mengandalkan hasil alam untuk mendapatkan kayu bakar, air tawar, makanan laut, lahan pertanian, dan tanaman untuk pengobatan tradisional.

Dipelihara secara berkelanjutan, lahan basah pesisir juga merupakan sekutu yang tangguh dalam menghadapi perubahan iklim karena mampu menyimpan karbon, menyaring polusi air, dan melindungi dari cuaca ekstrem dan naiknya permukaan laut.

Tetapi eksploitasi yang tidak terkendali selama bertahun-tahun menimbulkan kerusakan parah di hutan bakau, dataran lumpur, kolam air tawar, dan bukit pasir di muara sungai terpanjang kedua di Kenya itu.

Kayu bakau yang dimanfaatkan selama berabad-abad untuk membangun rumah tradisional Swahili, kini ditebang untuk keperluan konstruksi di kota-kota pesisir yang tumbuh dengan pesat seperti di Malindi yang kini jadi pusat pariwisata yang populer.

Sementara itu penduduk setempat menangkap ikan secara berlebihan di sungai, menggunakan jaring apung yang menjebak bahkan kehidupan laut terkecil sekalipun. Tanah subur terangkat dan terbawa arus ke Samudera Hindia, semakin mengurangi populasi ikan di Sabaki dan membunuh terumbu karang di lepas pantai.

"Lanskap telah berubah. Dulu, kami memiliki hutan besar dengan gajah dan monyet," kenang Francis Nyale, seorang tetua desa berusia 68 tahun, yang berdiri sambil meratapi tunggul-tunggul sisa penggundulan bakau.

Tapi sebuah pohon bakau telah membangkitkan optimisme warga desa setempat menghidupkan kembali kawasan muara. Ada tanda-tanda awal bahwa upaya mereka membuahkan hasil.

Pohon-pohon yang luar biasa ini juga menghasilkan keuntungan berkali-kali lipat bagi Bumi. Bakau dapat menyerap karbon lima kali lebih banyak daripada hutan di darat, dan bertindak sebagai penghalang terhadap gelombang badai dan erosi pantai. "Selain itu memelihara hutan bakau 1.000 kali lebih murah per kilometer daripada membangun tembok laut dari kenaikan air laut," lapor Program Lingkungan PBB (UNEP) yang mensponsori proyek restorasi Sabaki.

"Lahan basah yang sehat amat penting untuk mitigasi iklim, adaptasi, keanekaragaman hayati, serta kesehatan dan kemakmuran manusia, melebihi bobotnya dalam hal manfaat," kata Leticia Carvalho, koordinator utama UNEP untuk kelautan dan air tawar.

Pohon Kami, Warisan Kami

Bagi masyarakat lokal, ada manfaat ekonomi dalam merehabilitasi alam. UNEP memperkirakan bahwa satu hektare hutan bakau dapat menghasilkan antara 33.000 hingga 57.000 dollar AS per tahun secara ekonomis.

Di Sabaki, pemandu lokal menambah penghasilan mereka dengan memimpin wisatawan untuk melihat kuda nil dan kehidupan burung yang menghuni muara tersebut. Saat ini sektor pariwisata di Sabaki sedang ditingkatkan dengan penyediaan fasilitas wisata, memperluas peternakan lebah tradisional di hutan, dan membuka lahan penyemaian untuk bibit tanaman.

"Meyakinkan empat warga desa di Sabaki bahwa ada nilai dalam konservasi, membutuhkan diplomasi yang cermat dan sentuhan lokal," kata Mangi, yang memimpin kelompok masyarakat yang memulihkan muara.

Mereka bekerja sama dengan nelayan untuk meninggalkan praktik yang tidak berkelanjutan, dan penjaga hutan sukarela yang menangkap penebang hutan bakau di muara. "Kami tidak membawa mereka ke polisi. Kami berbicara dengan mereka. Kami ingin mereka mengerti bahwa ada sesuatu yang baik di pohon-pohon ini (daripada menebang)," kata Mangi.

Jared Bosire, dari Konvensi Nairobi, sebuah kemitraan lingkungan regional untuk Samudra Hindia Barat, mengatakan bahwa komunitas Sabaki menunjukkan bagaimana pendekatan lokal terhadap konservasi dapat terbukti saling menguntungkan.

Diketahui ada lebih dari 80 persen hutan bakau telah hilang di sepanjang bagian barat Samudera Hindia. Bagi Mangi, tidak akan pernah ada komunitas tanpa kehadiran hutan bakau tersebut. "Jika kita tidak memiliki pohon-pohon ini, kita kehilangan warisan kita," pungkas dia. AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top