Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketahanan Energi I Kebutuhan Gas Elpiji Dalam Negeri 70% Berasal dari Impor

Wapres Meminta Kebergantungan pada Energi Fosil Dihentikan

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Dari 54 triliun rupiah subsidi elpiji di APBN 2021 hanya 35 persen dinikmati warga miskin.

» Pemerintah harus serius mendorong penggunaan EBT seperti AS dan Eropa.

JAKARTA - Kebergantungan Indonesia terhadap impor energi fosil harus dihentikan dan disubstitusi secara bertahap ke energi baru terbarukan (EBT) yang sumbernya banyak tersedia di dalam negeri. Permintaan penghentian konsumsi energi fosil itu karena sebagian besar diperoleh dari impor dan dalam pendistribusiannya pun dinilai tidak adil karena hanya 35 persen menyasar masyarakat miskin dan rentan khususnya gas elpiji.

Wakil Presiden (Wapres), Ma'ruf Amin, dalam orasi ilmiahnya pada Dies Natalis V Universitas Pertamina secara daring, di Jakarta, Senin (1/2), mengatakan kebergantungan Indonesia terhadap negara pemasok energi fosil sangat besar.

"Kita harus menyadari, saat ini kita masih sangat bergantung pada energi fosil yang sebagian besar justru diimpor. Saya ingin memberikan contoh, sumber energi utama yang digunakan untuk memasak oleh sebagian besar rumah tangga di Indonesia yakni gas alam cair Liquefied Petroleum Gas/LPG (gas elpiji) lebih dari 70 persen diimpor," kata Wapres.

Dalam pendistribusiannya juga disayangkan karena terjadi ketimpangan. Penerima manfaat gas subsidi sebagian besar justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu yakni mencapai 65 persen dari total yang dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 54 triliun rupiah. Sedangkan masyarakat miskin dan kelompok rentan hanya 35 persen yang merasakan subsidi itu.

"Tentu ini ironis, karena alokasi subsidi elpiji jumlahnya sangat besar dan cenderung meningkat," kata Ma'ruf.

Padahal, masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang masih menggunakan bahan bakar kayu dalam memasak sehari-hari.

"Meskipun pada 2021 sudah dialokasikan anggaran sekitar 54 triliun rupiah untuk subsidi guna menyediakan elpiji sampai 7,5 juta metrik ton untuk masyarakat, masih terdapat lebih dari 12,51 juta rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia yang memasak menggunakan kayu bakar," kata Wapres.

Selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Wapres meminta agar kebijakan energi harus berpihak kepada masyarakat miskin dan rentan untuk mendorong keadilan.

Tekan Defisit

Pengamat Energi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, Ali Musyafa, mengatakan untuk memenuhi melonjaknya kebutuhan energi nasional, pemerintah harus mengutamakan pengembangan EBT dibanding energi fosil.

Dengan penghentian impor energi fosil secara bertahap, jelas Ali, juga membantu menekan defisit neraca migas.

"Pengembangan EBT telah diamanatkan dalam undang-undang, maka harus dilakukan. Perlu fokus mengembangkan dan menggaransi sehingga energi ini mampu bersaing dengan energi konvensional (migas) yang infrastrukturnya sudah mapan," kata Ali.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, berharap pemerintah harus lebih serius mendorong dekarbonisasi seperti Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, yang baru menjabat langsung menargetkan dekarbonisasi sektor kelistrikan AS 100 persen dengan energi terbarukan pada 2035.

Baca Juga :
Mengantar Pelajaran

Biden juga mencanangkan akan mencapai iklim netral (net zero emission) pada 2050. Begitu juga pada 2030 mendatang, AS menargetkan 100 persen kendaraan listrik sehingga konsumsi bahan bakar fosil akan turun drastis.

Selain AS, negara-negara Eropa juga telah berencana untuk phase out (meninggalkan) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara sebelum 2030 dan melarang penjualan kendaraan berbahan bakar fosil sebelum 2025 atau 2030.

"Mereka melakukan itu karena punya target untuk menurunkan atau memotong emisi gas rumah 40 persen dari tingkat 1990 pada 2030. Untuk itu, konsumsi energi fosil harus dipangkas drastis," tegas Fabby. n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top