Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sistem Pemerintahan I Tiap Wilayah di Jakarta Semestinya Memilih DPRD Kota

Walikota di Jakarta Harus Dipilih Langsung oleh Rakyat

Foto : Koran Jakarta /Wahyu AP

Kawasan Kumuh di Jakarta I Salah satu kawasan kumuh di Jakarta, beberapa waktu lalu. Seharusnya, wali kota di Jakarta dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai wewenang penuh seperti wali kota di daerah lain sehingga pembangunan bisa merata ke seluruh wilayah Jakarta.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Setelah tidak menyandang lagi sebagai Ibu Kota Negara, Provinsi DKI Jakarta pun harus berubah secara administratif pemerintahan. Jika semula lima wilayah Kotamadya, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan satu Kabupaten yaitu Kepulauan Seribu, pemimpinnya ditunjuk oleh gubernur, maka seharusnya setelah berubah status, pemimpinnya harus dipilih langsung oleh rakyat.

Begitu pula dengan masing-masing wilayah, sudah seharusnya memiliki anggota DPRD II yang juga dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana kota dan kabupaten lainnya di Indonesia.

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M. Gasa, mengatakan otonomi daerah memang membuat pemerintahan lebih efektif.

"Wali kota harus dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi ditunjuk seperti saat ini. Masing-masing wilayah juga harus mempunyai DPRD II seperti Kota Surabaya dan Kota Bekasi. Apalagi, penduduk Jakarta Timur saja penduduknya 3,3 juta jiwa, lebih banyak dibanding Surabaya," kata Frederik.

Keberadaan perangkat penyelenggara pemerintah pada level bawah (kota/kabupaten) sejatinya sangat membantu seorang gubernur dalam mengurusi berbagai persoalan yang dihadapi sehari-hari.

Apalagi, setiap kota atau kabupaten memiliki kekhasan masing-masing yang tentu dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya disamaratakan dengan kota atau kabupaten lainnya. Kemudian, yang paling memahami kota atau kabupaten adalah mereka yang setiap harinya berada di kota atau kabupaten tersebut dan karenanya butuh figur pemimpin yang lahir, besar, dan tinggal di daerah tersebut.

"Jika hanya dinakhodai oleh gubernur, saya khawatir wilayah kota atau kabupaten yang ada di dalamnya akan berjalan mundur. Terakhir, dengan tidak adanya penyelenggara pemerintahan pada level kota atau kabupaten, rentan sekali terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Kekhawatiran yang muncul berikutnya adalah esensi otonomi yang sejatinya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat wilayah, justru tidak akan tercapai," kata Frederik.

Berbagai persoalan di Jakarta, seperti kemacetan, banjir, dan polusi udara tentu tidak luput dari bagaimana pemerintah DKI Jakarta mengelola ini semua. "Managerial dan tata kelola yang baik tentu akan dapat mengatasi semua keruwetan yang terjadi di Jakarta," katanya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID) Jakarta, Nazar EL Mahfudzi, mengatakan jika lima wilayah di DKI Jakarta tidak lagi berstatus sebagai kota administratif, melainkan menjadi kota otonom yang penuh dengan wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat serta memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri, maka akan membawa banyak manfaat dari berbagai aspek, mulai dari demokrasi, efisiensi pemerintahan, hingga kesejahteraan masyarakat.

"Pemilihan langsung memungkinkan warga untuk merasa lebih terlibat dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinan lokal mereka," kata Nazar di Jakarta, Minggu (21/7).

Tingkatkan Transparansi

Nazar menjelaskan bahwa dengan memberikan hak kepada warga untuk memilih wali kota secara langsung, partisipasi politik masyarakat akan meningkat. Pemilihan langsung memungkinkan warga merasa lebih terlibat dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinan lokal mereka. Hal itu juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, karena wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih akuntabel kepada konstituen mereka.

"Dengan adanya pemilu, pejabat terpilih harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan keputusan mereka, yang secara langsung meningkatkan transparansi dalam pemerintahan," tambah Nazar.

Nazar juga menekankan pentingnya desentralisasi kekuasaan. Menurutnya, otonomi penuh untuk lima wilayah di DKI Jakarta akan memungkinkan desentralisasi kekuasaan yang lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih terfokus pada wilayah tertentu, keputusan dapat dibuat lebih cepat dan lebih relevan dengan kebutuhan lokal.

"Setiap wilayah memiliki kebutuhan dan karakteristik yang berbeda. Dengan otonomi penuh, setiap wilayah dapat merancang dan melaksanakan kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka," jelasnya.

Dengan demikian, maka pelayanan publik dapat lebih dekat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah dapat lebih fokus dalam meningkatkan kualitas layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan sosial.

"Pemerintah daerah yang lebih otonom memiliki kapasitas untuk mengembangkan program-program kesejahteraan yang lebih tepat sasaran," katanya.

Dari sisi ekonomi, Nazar mengatakan bahwa dengan otonomi penuh, setiap wilayah dapat mengelola sumber daya mereka sendiri dengan lebih baik, baik itu sumber daya alam, manusia, maupun finansial. Ini membuka peluang bagi pengembangan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

"Pemerintah lokal yang otonom memiliki fleksibilitas untuk menarik investasi dan mengembangkan kebijakan ekonomi yang mendukung pertumbuhan lokal," ujarnya.

Nazar mencontohkan Kota Surabaya dan Bekasi sebagai bukti keberhasilan kota dengan otonomi penuh. Surabaya dikenal dengan tata kelola kotanya yang baik dan inovatif, serta kebijakan lingkungan yang progresif. Bekasi juga menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur dan layanan publik.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, mengatakan yang perlu dimatangkan pula ialah bagaimana memperjelas konsep wilayah aglomerasi. Apalagi Jakarta dalam beberapa isu nanti akan berhubungan dengan daerah-daerah penyangganya.

"Tinggal disinkronkan saja di perencanaan anggarannya. Misalnya masalah banjir di Jakarta, bagaimana perencanaan anggaran antara Pemda Jakarta, Bogor, hingga Cianjur," kata Armand.

Secara terpisah, Wakil Rektor Tiga Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan seharusnya setiap rezim pemerintahan menaruh rasa hormat terhadap nilai-nilai reformasi yang telah dicetuskan, apalagi telah mengorbankan nyawa mahasiswa.

Dengan memegang teguh nilai-nilai tersebut, maka muruah demokrasi akan tetap berlanjut dalam setiap sendi kehidupan bernegara. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan wilayah-wilayah di Jakarta seharusnya otonom.

"Seharusnya ada keberlanjutan demokrasi. Kita harus meneruskan semangat reformasi dengan memilih kepala daerah secara langsung. Apalagi DKI-nya sudah otonom, seharusnya bentuk ini menurun ke wilayah-wilayahnya. Sebagai daerah otonom, semestinya kepatutannya dipilih secara langsung melalui mekanisme pemilu dan tidak setback. Jangan memutar jarum jam, demokrasi kita harus maju ke depan. Apalagi itu di wilayah sentrum ibu kota yang akan menjadi barometer politik nasional sehingga harus betul-betul sesuai regulasi dan tidak membuat diskresi yang potensial mematik pro-kontra di masyarakat kita yang sudah 'melek' politik," tuturnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top