Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pertumbuhan Ekonomi I Realisasi Vaksinasi Covid-19 di Indonesia Terbilang Rendah

Vaksinasi Harus Jadi Prioritas untuk Balikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi IMF

Foto : KORAN JAKARTA/M FACHRI

EKONOMI PULIH DENGAN VAKSINASI I Vaksin menjadi instrumen penting pemulihan kesehatan karena lewat vaksin akan terbentuk herd Immunity. Kalau itu berhasil optimistis ekonomi akan menggeliat dan pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari proyeksi IMF.

A   A   A   Pengaturan Font

» Realisasi bansos yang minim, menunjukkan survivabilitas masyarakat itu lebih banyak dari masyarakat sendiri.

» Vaksinasi harus segera dimasifkan supaya ekonomi bisa berjalan dengan baik.

JAKARTA - Pengumuman International Monetary Fund (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 sebesar 0,4 persen, yaitu dari 4,3 persen menjadi 3,9 persen, hendaknya disikapi dengan fokus pada kualitas pertumbuhan ekonomi.

"Pada saat ini yang diperlukan justru kualitas dari tiap angka pertumbuhan. Sebab, pandemi belum jelas kapan akan selesai dan tantangan dari makin bertambahnya kemiskinan, terutama di perkotaan, menjadi tantangan utama di hari-hari depan dan akan mendorong masalah yang lebih besar seperti kerawanan sosial," kata Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, Rabu (28/7).

Menurutnya, ekonomi sebagai sebuah aktivitas business as usual harus ditinggalkan. Pemerintah harus fokus pada penanganan wabah dan seluruh turunannya.

Vaksinasi tidak bisa ditawar lagi dan keluhan-keluhan sektor formal maupun sektor informal akibat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 mesti dijawab segera oleh pemerintah, terutama dengan percepatan realisasi perlindungan sosial dan sinyal jalan keluar, baik berupa penanganan Covid-19 yang lebih cepat maupun langkah inspiratif dari pejabat pemerintahan.

Gunadi mengingatkan, Presiden Jokowi belum lama menyebut realisasi perlindungan sosial ini masih kurang dari 20 persen. Artinya, jika data BPS memperlihatkan sedikitnya kenaikan kemiskinan, Gunadi menyebut bahwa daya tahan masyarakat sebenarnya bukan dari campur tangan pemerintah.

"Realisasi bansos yang minim itu menunjukkan survivabilitas masyarakat itu lebih banyak dari masyarakat sendiri. Di sini terlihat tidak adanya inspirasi dari pusat, apalagi manajemen yang kuat untuk mengantisipasi krisis dan mencari jalan keluar. Segera realisasikan bansos yang 80 persen itu," papar Gunadi.

Kalau bansos saja gagal disalurkan cepat, Gunadi pesimistis pemerintah bisa membalikkan proyeksi IMF, sebaliknya, justru makin buruk. "Karena faktor mutasi korona ini tidak ada yang tahu bagaimana nanti berdampak pada seluruh kehidupan kita," tandas Gunadi.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan otoritas Indonesia sudah melakukan banyak hal, tetapi memang belum efektif karena hadirnya varian Delta sangat mengagetkan semua elemen. Menurutnya, kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi RI adalah sektor kesehatan dan sektor ekonomi harus berjalan, dengan upaya vaksinasi sebagai prioritas saat ini.

Vaksin menjadi instrumen penting pemulihan kesehatan karena lewat vaksin maka akan terbentuk herd Immunity. Kalau vaksinasi sudah mencapai 80 persen jumlah penduduk maka masyarakat akan punya senjata untuk melawan virus. Kalau itu berhasil maka optimis pemulihan ekonomi akan semakin menggeliat dan pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari proyeksi IMF itu.

"Diharapkan vaksinasi segera dimasifkan, supaya kita bisa kembali normal untuk beraktivitas dan ekonomi bisa berjalan dengan baik," tutur Wasiaturrahma.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional atau IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 3,9 persen dari 4,3 persen. Ini berarti IMF sudah tiga kali menurunkan proyeksi ekonomi Indonesia 2021.

Dalam World Economic Outlook pada Oktober 2020, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di level 6,1 persen. Namun pada Januari, proyeksi tersebut direvisi menjadi 4,8 persen, dan pada April diturunkan lagi menjadi 4,3 persen.

Penurunan proyeksi ini utamanya disebabkan oleh lonjakan kasus Covid-19 di dunia. Sementara realisasi vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara-negara lain.

"Negara-negara tertinggal dalam vaksinasi, seperti India dan Indonesia, akan paling menderita di antara ekonomi G20. Kelemahan berlarut-larut dalam aktivitas diperkirakan menimbulkan kerusakan terus-menerus pada kapasitas pasokan ekonomi," tulis IMF dalam laporan World Economic Update, edisi Juli 2021.

Lebih Keras Lagi

Pengamat Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin saja akan terkoreksi lebih rendah walaupun masih dalam kisaran target pemerintah.

Perbaikan pertumbuhan yang lebih tinggi lagi sebenarnya dapat memanfaatkan momentum membaiknya perekonomian negara mitra dagang, namun kebijakan industri yang berorientasi ekspor tidak akan cepat reaksinya untuk meningkatkan ekspornya, mengingat kebijakan untuk mengurangi penyebaran Covid 19 berdampak pada kemampuan produksi karena mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan bahan baku yang mengalami perlambatan.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah dari target jika pemerintah tidak berhasil mengupayakan lebih cepat vaksinasi Covid-19.

Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan, tegas Suhartoko, ialah pasokan vaksin yang masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk bulk maupun siap pakai yang belum mencapai 100 persen, sehingga menghambat distribusi vaksin ke daerah. Akibatnya, bisa diduga kasus Covid tidak bisa turun dengan drastis dan sebagai dampaknya muncul kebijakan yang berdampak kepada terkontraksinya perekonomian, terutama sektor UMKM yang sumbangannya terhadap PDB (produk domestik bruto) sekitar 60 persen.

"Oleh karena itu, mau tidak mau upaya penanggulangan Covid-19 harus lebih keras lagi," tegas Suhartoko.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top