Utusan Tinggi Tiongkok: Tiongkok Bersedia Menjadi Mitra dan Sahabat AS
Duta Besar Tiongkok untuk Washington Xie Feng.
Foto: IstimewaSHANGHAI – Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat, Xie Feng, baru-baru ini mengatakan, Beijing bersedia menjadi mitra dan sahabat Amerika Serikat, dalam upaya memperkuat dialog antara dua ekonomi terbesar di dunia.
"Tiongkok tidak mempunyai rencana untuk melampaui atau menggantikan AS," kata Xie Feng dalam pidatonya di Hong Kong pada Jumat (15/11), berbicara kepada pejabat Tiongkok dan Duta Besar AS untuk Tiongkok.
Dikutip dari The Straits Times, Beijing berupaya mengatur ulang hubungan dengan Washington menjelang kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan pada bulan Januari.
Trump telah berjanji akan mengenakan tarif pada impor Tiongkok melebihi 60 persen, tetapi Beijing dan perusahaan-perusahaan Tiongkok berharap kebijakan proteksionisnya juga akan membuat kesal sekutu-sekutu AS di Eropa dan Asia, sehingga memberi Tiongkok peluang untuk meningkatkan pengaruh globalnya dan memperbaiki hubungan dagang.
Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pada tanggal 15 November menyerukan negara-negara untuk menolak unilateralisme dan proteksionisme demi globalisasi ekonomi.
Namun, beberapa analis mengatakan promosi Tiongkok sebagai penyeimbang AS yang dipimpin Trump telah kehilangan daya tariknya dibandingkan dengan tahun 2016, saat ia pertama kali terpilih.
"Kemitraan Tiongkok-AS tidak pernah menjadi permainan yang merugikan satu pihak," kata Xie, seraya menambahkan bahwa kedua negara memiliki potensi besar untuk bekerja sama di berbagai bidang seperti perdagangan, pertanian, energi, kecerdasan buatan, dan kesehatan masyarakat.
Duta Besar Tiongkok menekankan “nada dialog” untuk menanggapi kekhawatiran masing-masing pihak, dengan mengatakan “sangat mungkin untuk membawa masalah ke meja perundingan guna dikomunikasikan secara jujur, mencari solusi yang setara”.
Ia menambahkan bahwa Taiwan adalah “titik api” terbesar yang dapat memicu konflik dan konfrontasi antara Beijing dan Washington dan menyerukan perlawanan yang jelas terhadap “separatis” di Taiwan.
Menurut Zhu Min, mantan pejabat tinggi di bank sentral Tiongkok, Tiongkok akan melawan jika Presiden terpilih AS Donald Trump menepati janjinya untuk mengenakan tarif sebesar 60 persen pada impor Tiongkok.
"Jika Trump dan pemerintahannya benar-benar mengenakan tarif sebesar 60 persen terhadap Tiongkok, saya rasa Tiongkok akan membalas dan membawa kasus ini ke Organisasi Perdagangan Dunia," kata Zhu, mantan wakil gubernur di Bank Rakyat Tiongkok, atau People’s Bank of China (PBOC), dalam sebuah wawancara di Bloomberg Television pada tanggal 15 November.
"Ada banyak hal yang dapat mereka lakukan."
Ia tidak menyebutkan tindakan pembalasan yang mungkin dilakukan. Namun, ia mengatakan tarif akan berdampak pada mata uang Tiongkok, yang menurutnya ditentukan oleh kekuatan pasar seperti perdagangan dan arus modal. Tarif juga akan memengaruhi permintaan Tiongkok terhadap obligasi pemerintah AS, imbuhnya.
Tiongkok merupakan kreditor asing terbesar kedua bagi pemerintah AS setelah Jepang, yang memegang sekitar 775 miliar dolar AS dalam bentuk obligasi pemerintah.
"Tarif akan memengaruhi nilai tukar, memengaruhi aliran modal Tiongkok, dan juga akan memengaruhi seberapa banyak Tiongkok akan membeli surat utang pemerintah AS,” kata Zhu, yang sekarang menjabat sebagai ketua Institut Penelitian Keuangan Nasional di Universitas Tsinghua.
Trump mengenakan tarif hingga 25 persen pada impor Tiongkok senilai lebih dari 300 miliar dolar AS selama masa jabatan pertamanya, yang memicu pembalasan dari Beijing, dan Presiden Joe Biden sebagian besar tetap memberlakukannya. Selama masa kampanye, Trump mengancam akan menaikkan pungutan pada barang-barang Tiongkok hingga 60 persen , tingkat yang menurut Bloomberg Economics akan menghancurkan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia.
"Jika perang dagang meningkat, akan menjadi hal yang sulit bagi kedua negara," kata Zhu, yang juga menjabat sebagai wakil direktur pelaksana di Dana Moneter Internasional.
"Akan lebih baik jika kedua belah pihak dapat duduk bersama, berunding, dan mencapai kesepakatan karena, secara ekonomi, kedua belah pihak benar-benar saling melengkapi," katanya.
Ia menunjukkan bahwa ekspor Tiongkok secara global telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, melonjak hingga hampir 4 triliun dolar AS, dari 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2019. Meski begitu, katanya, Beijing telah membuat "perubahan strategis" untuk mengurangi ketergantungannya pada perdagangan dan untuk meningkatkan permintaan domestik, sebuah proses yang ia akui akan "memakan waktu".
Ketika ditanya apakah stimulus yang diluncurkan Beijing pada akhir September cukup untuk mengakhiri deflasi yang diderita Tiongkok, Zhu sebagian besar menangkis pertanyaan tersebut.
“Tujuan jangka pendek Beijing adalah menstabilkan pasar perumahan, mengurangi beban utang pemerintah daerah, dan meningkatkan kepercayaan konsumen," katanya.
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 3 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 4 Jerman Percaya Diri Atasi Bosnia-Herzegovina
- 5 Disbun Kaltim Fasilitasi Alih Fungsi Lahan Tambang Menjadi Perkebunan