Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan APBN I Kemenkeu Harus Tagih Piutang BLBI seperti Rekomendasi BPK

Utang yang Tidak Produktif Berujung “Default”

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

» Tidak ada pertumbuhan ekonomi negara yang bisa mengejar beban utang yang tidak produktif.

» Dana triliunan rupiah yang dikasih ke masyarakat tanpa program yang jelas akan menguap begitu saja.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah mengelola keuangan negara dengan menarik utang untuk memulihkan ekonomi saat krisis, tidak efektif. Penarikan utang hingga ribuan triliun hanya menguap tanpa bekas karena digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya konsumtif.

Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Selasa (23/2), mengatakan jika utang tidak digunakan untuk kegiatan produktif, tapi hanya untuk membayar utang dan bunga utang serta membiayai program yang konsumtif, maka ujungnya akan berakhir default atau gagal bayar.

Dengan imbal hasil global bond 9,2 persen serta obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar 11,75 persen akan sangat membebani jika hanya digunakan untuk membiayai kegiatan konsumtif. Apalagi, obligasi rekap digunakan menyubsidi orang kaya yang tidak mau membayar utangnya.

Kesalahan pada krisis moneter 1998 lalu, kembali terulang saat krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini. Pemerintah menarik utang rata-rata 900-1.000 triliun rupiah pada 2020 dan 2021 untuk menangani krisis, termasuk menggelontorkan Dana Desa dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

"Dana itu dikasih ke masyarakat dan menguap tanpa jelas apa yang dibangun. Kalau dana ratusan triliun rupiah tercecer, maka tidak produktif," kata Salamuddin.

Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat program yang jelas dengan memberdayakan perekonomian rakyat, sehingga dana yang dibagikan bisa kembali karena usaha mereka berkelanjutan. "Betul rakyat harus dibantu, tapi kalau setiap hari habis, sampai kapan? Kan lebih baik untuk program pembangunan daerah, yang intinya memandirikan mereka, bukan hanya memberi makan," katanya.

Dalam penyaluran bantuan sosial, misalnya, banyak masyarakat yang terdaftar, tetapi malah tidak dapat.

Dana, terutama yang bersumber dari utang, harus digunakan secara efektif dalam program yang bisa kembali. Kalau negara meminjam satu rupiah, maka idealnya harus balik dua rupiah. Jangan sebaliknya, justru tidak ada bekasnya. Kalau kondisi seperti itu terus berlangsung, pada akhirnya bank sentral mencetak duit dan terjadi dilusi rupiah. Kurs dollar AS akan naik kembali di atas 15 ribu rupiah per dollar AS.

"Global bond kita akan jatuh lebih mahal karena ada selisih kurs. Sampai saat ini pun anggaran untuk pembangunan daerah dan rakyat tidak ada program yang jelas, tidak ada yang tahu menguap ke mana. Kalau dana APBN habis begitu, solusinya cari utang baru dan cetak uang kertas rupiah baru, negara mana yang bisa bertahan," kata Salamuddin.

Tidak Berdaya

Dalam kondisi keuangan negara berat, pemerintah khususnya Kementerian Keuangan, justru tidak berdaya menagih piutang negara khususnya BLBI. Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah meminta pemerintah mengoptimalkan penagihan senilai 91,7 triliun rupiah. Jika diperhitungkan dengan bunganya selama dua puluh tahun lebih, tagihannya sekitar 400 triliun rupiah.

"Jadi, bukan persoalan nilai utangnya 3.500 triliun rupiah, tetapi kalau penggunaanya tidak produktif, maka itu sama dengan bocor di depan dan belakang, tidak mampu menutup utang yang sekarang dan di masa mendatang," katanya.

Secara terpisah, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andi Fefta Wijaya, menyoroti bank-bank penerima obligasi rekap yang banyak melakukan pembiayaan ke properti dan kendaraan bermotor. Sebab, hal itu termasuk kredit konsumtif yang justru menimbulkan gelembung harga properti.

"Bubble property itu sangat berisiko karena kelebihan pasokan, padahal daya beli masyarakat semakin menurun sehingga minat membeli ikut turun. Akibatnya, dana BLBI yang diinvestasikan ke properti bisa menguap kalau gelembung-gelembung tadi pecah," kata Andy.

Ini sangat berbahaya kalau tidak dikendalikan karena akan menekan perekonomian yang sudah buruk saat ini. Bila pecah, maka pemerintah kena dua kali. Pertama dana talangan dikemplang oleh penerimanya, dan kedua, bubble property mengacaukan upaya pemerintah menyangga ekonomi yang terpuruk.

n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top