Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketidakpastian Ekonomi I Cicilan Bunga Utang RI Hampir Rp500 Triliun, 15% dari APBN

Utang Sudah Menjadi Hantu bagi Fiskal Indonesia

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa semua negara saat ini khawatir pada harga minyak, tingkat bunga, dan pinjaman semestinya ditindakjanjuti para menteri-menteri melalui kebijakan fiskal dengan mengurangi penarikan utang.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan pemerintah jangan sebatas mewacanakan kekhatiran ekonomi global, tetapi justru harus menunjukkan konsistensi dalam setiap kebijakan.

Menurut dia, pernyataan Presiden bahwa seluruh pemimpin dunia mengkhawatirkan membengkaknya bunga utang, semestinya diwujudkan dalam kebijakan fiskal pemerintah dengan terus mengurangi jumlah utang.

"Cicilan bunga utang kita hampir 500 triliun rupiah atau 15 persen dari total APBN. Belum jatuh tempo pokok utang, sementara kemampuan kita meningkatkan pendapatan negara tidak membaik," kata Maruf.

Apalagi, pekan lalu, Kemenkeu mengumumkan bahwa pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turun. Kondisi tersebut menandakan kemampuan meningkatkan pendapatan juga turun.

Maruf menyebut utang telah menjadi hantu bagi fiskal Indonesia. Debt trap yang menghancurkan Indonesia di akhir 90-an bisa terulang di masa depan dalam bentuk yang lain.

Jika dulu utang Indonesia dalam bentuk utang luar negeri pada lembaga-lembaga multilateral, hari ini utang didominasi oleh SBN. Dengan melemahnya performa ekonomi Indonesia di tengah gonjang-ganjing ekonomi global, bunga SBN Indonesia terus meningkat. "Jangan hanya berlindung kepada angka positif neraca keseimbangan primer, karena itu tidak menggambarkan percepatan penambahan utang dan perlambatan pertumbuhan pendapatan," tandas Maruf.

Dalam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2024 di Jakarta, Senin (6/5), Presiden meminta jajarannya agar berhati-hati mengelola setiap rupiah dari APBN maupun APBD di tengah situasi perekonomian dunia yang sulit.

"Semua negara kini takut terhadap harga minyak, dan masalah bunga pinjaman. Semua pada takut masalah itu, karena begitu bunga pinjaman naik sedikit saja, beban fiskal itu akan sangat besar," kata Presiden.

Bentuk Otokritik

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta pendapatnya mengatakan apa yang disampaikan Presiden sebenarnya juga bentuk otokritik terhadap kabinetnya sendiri, khususnya terhadap tim ekonominya. "Ini mengkritik diri sendiri dan harapannya harus lebih mengerem menarik utang baru lagi ke depannya," tegas Badiul.

Peringatan Presiden, jelas Badiul, sebagai bentuk kehati-hatian dan untuk mengantisipasi segala kemungkinan sebagai dampak dari krisis global yang akan berdampak pada perekonomian nasional, terutama kenaikan harga minyak dunia.

Berkaitan dengan suku bunga pinjaman, pemerintah harus menunjukkan komitmennya. "Jangan sampai bunga pinjaman naik, tapi pemerintah tetap menjadikan pinjaman luar negeri sebagai instrumen pembiayaan utama setelah APBN, sehingga utangnya semakin menumpuk, itu namanya inkonsisten," tandas Badiul.

Meskipun pemerintah masih menganggap utang negara selama ini masih terkendali dan terkelola dengan baik, tetapi dampaknya bisa muncul dalam jangka panjang.

Sementara itu, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, menilai pernyataan Presiden itu menunjukkan ketidaksinkronan antara apa yang disampaikan dan yang dikerjakan. Bunga utang Indonesia termasuk yang termahal, sehingga beban yang ditanggung pemerintah semakin berat.

Walaupun pemerintah mengeklaim Debt to Gross Domestic Product (GDP) ratio masih 39-40 persen, tetapi Indonesia tengah menghadapi tingkat debt to service ratio yang terus meningkat, sedangkan kinerja tax ratio masih stagnan.

"Artinya, kemampuan pemerintah membayar utang cukup terbatas. Ini yang harus diwaspadai oleh pemerintah," kata Huda.

Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan kekhawatiran pemerintah akan dampak perekonomian dunia yang menurun seharusnya sudah diantisipasi sebelumnya dengan memperhitungkan kemampuan APBN dalam menanggung utang.

"Hal yang harus diperhatikan adalah sejauh mana APBN sanggup menanggung angsurannya dan sampai kapan. Lebih penting lagi, seproduktif apa hasil dari penarikan pinjaman itu," tutup Surokim.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top