Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Porsi Pembayaran Utang dalam APBN Harus Ditekan

Utang RI Bakal Bengkak Jadi Rp8.669 Triliun pada 2022

Foto : Foto: Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

» Bunga obligasi rekapitalisasi BLBI harus dimoratorium agar keuangan negara tidak terancam bangkrut.

» Pemerintah perlu menangguhkan pembiayaan selain untuk penanganan kesehatan dan PEN.

JAKARTA - Utang Indonesia pada 2022 mendatang diperkirakan akan membengkak hingga 8.669 triliun rupiah dari posisi pada akhir tahun 2020 lalu sebesar 6.074,6 triliun rupiah atau 38,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Melonjaknya utang hingga 2.500 triliun rupiah dalam dua tahun ke depan itu karena melebarnya defisit anggaran untuk penanganan kesehatan dan pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pada 2021, pemerintah menargetkan menarik pembiayaan dari utang baru sebesar 1.177,4 triliun rupiah untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 1.006,4 triliun rupiah atau 5,7 persen terhadap PDB.

Sedangkan pelebaran defisit APBN 2020 menjadi 1.028,5 triliun rupiah atau 6,27 persen dari PDB, sehingga pembiayaan utang neto meningkat hingga 1.206,9 triliun rupiah. Kenaikan itu dapat memicu beban bunga utang pada belanja negara ke depan yang memiliki tendensi untuk meningkat.

Menanggapi ancaman lonjakan utang tersebut, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Imam Hanafi, mengatakan porsi pembayaran utang dalam APBN harus ditekan seminim mungkin agar dana yang ada dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Untuk itu, pemerintah harus inovatif dalam upaya mencari jalan keluar dari ancaman perangkap utang.

"Pertama, stop utang-utang baru agar tidak semakin menggelembung. Pemerintah harus punya pemikiran yang out of the box dan inovatif dalam mengatasi masalah utang ini," kata Imam.

Pemerintah, kata Imam, perlu melakukan komunikasi yang baik sebagai pendekatan kepada negara-negara sahabat, selain yang sudah ada, agar mau membantu tanpa memberatkan keuangan negara, seperti anggota-anggota Islamic Development Bank yang kemampuan finansialnya sangat kuat.

"Kreditur kita selama ini tidak sepenuhnya membantu demi kebaikan kita," katanya.

Selain itu, sumber daya alam kalau dikelola sendiri, hasilnya pasti akan mampu untuk mencukupi kebutuhan nasional karena sifatnya tidak terlalu high technology.

Mengenai persoalan obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membebani keuangan negara, dia mengatakan memang harus dituntaskan dengan moratorium. Kalau tidak, akan terus menggerogoti keuangan negara dan bisa membuat negara bangkrut.

Sebelumnya, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan, pemerintah diharapkan segera mengoreksi kebijakan warisan masa lalu yang merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah, terutama utang dari skandal BLBI.

Untuk itu, pemerintah mesti mempercepat penyidikan secara tuntas kasus BLBI, menagih utang debitur BLBI yang belum melunasi kewajibannya, dan menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI.

Semua pihak terutama tim ekonomi pemerintah seharusnya mempunyai pemahaman yang sama tentang kondisi perekonomian nasional yang sulit maju akibat terbelenggu warisan utang masa lalu.

"Jadi, selain membuat perekonomian nasional kolaps, kebijakan obligasi rekap juga mencederai rasa keadilan rakyat. Sebab, yang berutang adalah pengemplang BLBI, tapi yang membayar adalah rakyat Indonesia," tegas Bhima.

Oleh karena itu, Bhima berharap kepada pemerintahan sekarang berani mengambil tindakan tegas dalam pengelolaan anggaran negara.

Dia pun mengharapkan penyidikan kasus BLBI dipercepat sehingga semua pelakunya mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal. "Para pelaku harus mengembalikan dana BLBI yang sudah dinikmatinya. Kemudian, moratorium pembayaran obligasi rekap agar APBN menjadi produktif," tukas Bhima.

Instrumen Fiskal

Secara terpisah, Manajer Riset dan Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan asumsi utang negara mencapai angka delapan ribu triliun rupiah lebih itu sangat mungkin, karena pemerintah telah memosisikan pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempercepat penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

Hal ini nampak jelas dari pembiayaan utang yang meroket tajam dari 402,1 triliun rupiah di 2019 menjadi 1.206,9 triliun rupiah pada 2020. Hal serupa juga dilakukan tahun ini dengan merencanakan pembiayaan utang sebesar 1.177,4 triliun rupiah.

"Pemerintah perlu mengambil kebijakan, mengencangkan ikat pinggang dengan menekan belanja yang tidak memiliki dampak langsung pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, misalnya pembayaran bunga obligasi rekap," katanya.

Jika pemerintah tidak berupaya dari sekarang, bisa jadi ambang batas atas utang yaitu 60 persen dari PDB bisa terlampaui pada akhir 2023. "Ini sangat berbahaya bagi stabilitas keuangan negara," katanya. n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top