Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perekonomian Global - IMF Sarankan agar Kurangi Utang Pemerintah

Utang "Emerging Market" Dinilai Sudah Mengkhawatirkan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyarankan kepada negara-negara di dunia termasuk negara berkembang (emerging market) untuk mengurangi utang pemerintah. Hal ini perlu dilakukan agar negara mampu menghadapi ketidakpastian global yang akan mempengaruhi perekonomian.

Bahkan, lembaga kreditor internasional itu memperingatkan bahwa risiko meningkatnya tekanan utang di negara-negara berpenghasilan rendah telah mencapai tahap mengkhawatirkan atau lampu merah. Kondisi ini makin mempertegas agar negara- negara itu sepakat mencari jalan untuk membagi beban bailout.

Terkait dengan pengelolaan utang, Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde, mengemukakan pemerintah bisa menekan risiko ketidakpastian global dengan cara mengurangi utang pemerintah. Menurut dia, pengurangan penggunaan utang disebut bisa memberikan ruang untuk melawan perlambatan ekonomi.

Meski begitu, Lagarde menambahkan pemangkasan utang ini harus dilakukan secara fleksibel agar pengurangan itu tidak semakin menurunkan ekonomi negara tersebut. "Mengurangi utang pemerintah yang tinggi, akan membuka ruang untuk melawan perlambatan ekonomi di masa depan. Tapi, tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan ramah terhadap pertumbuhan," kata Lagarde, dalam keterangannya, dikutip Selasa (22/1).

IMF dalam World Economic Outlook Update yang dirilis Senin (21/1), menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,5 persen pada 2019 dan 3,6 persen pada 2020, atau turun masing-masing 0,2 dan 0,1 persen dari perkiraan yang disampaikan Oktober lalu. "Kondisi selama beberapa bulan terakhir seperti ketegangan dagang antara AS (Amerika Serikat) dan Tiongkok, kenaikan suku bunga AS, penguatan dollar AS, aliran modal keluar dan harga minyak yang terus bergerak masih akan terus membayangi," tulis IMF.

Sebelumnya, Direktur Strategi IMF, Martin Muehleisen, menyoroti meningkatnya risiko utang pada kelompok negara berpendapatan rendah. Ulasan yang disampaikan dalam blog itu mencerminkan keprihatinan yang mendalam tentang penumpukan pinjaman Tiongkok kepada negara-negara berkembang yang dinilai tidak transparan.

Penumpukan pinjaman Tiongkok itu telah menyulitkan IMF untuk menilai apakah utang suatu negara tersebut sustainable. Bahkan, lebih menyulitkan lagi untuk mendapatkan dukungan bailout dari negara-negara kreditor, karena tidak ada mekanisme yang menjelaskan peran Beijing terkait hal itu.

Pembicaraan antara IMF dan Pakistan, yang sedang berjuang untuk mencegah krisis neraca pembayaran, terhenti tahun lalu karena tidak mungkin untuk mengukur skala kewajiban membayar utang yang tersembunyi pada Tiongkok.

Pemerintah AS telah menegaskan tidak akan mendukung penyelamatan IMF yang hanya membantu negara penerima melunasi utang ke Beijing yang bukan anggota Paris Club, kelompok negara kreditor yang mengkoordinasikan pengurangan utang.

"Mengingat tingginya tingkat utang yang dipegang oleh kreditor baru, kita perlu berpikir tentang bagaimana membuat koordinasi agar kreditor resmi bisa bekerja," tulis Muehleisen, seperti dikutip Financial Times, akhir pekan lalu.

Jadi Acuan

Menanggapi laporan IMF itu, ekonom Indef, Abra Talattov, menilai peringatan IMF mesti menjadi acuan bagi Indonesia untuk tidak terus menerus bergantung pada utang. "Memang rasio utang masih 30 persen dari PDB (produk domestik bruto), tapi belakangan ini naiknya ekstrem dan pemerintah seolah tutup mata karena dianggap masih aman," papar dia.

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah hingga akhir tahun lalu mencapai 4.418,3 triliun rupiah. Total utang tersebut bertambah 423 triliun rupiah atau naik 10,5 persen dibanding posisi akhir 2017 sebesar 3.995,25 triliun rupiah. Menurut Abra, banyak risiko yang bakal dihadapi apabila Indonesia terus menumpuk utang.

Meskipun, utang sebenarnya positif selama menjadi instrumen pembangunan yang produktif. Tapi, persoalannya di tengah kenaikan utang yang ekstrem itu, kinerja penerimaan pajak masih rendah. "Tax ratio masih di level 10 persen. Ini lebih kecil dibanding era sebelumnya. Hal itu menunjukkan bagaimana kita bisa bayar utang kalau tax ratio kita nggak bagus." jelas dia.

Rasio pajak itu, lanjut dia, selama ini didorong oleh kenaikan harga komoditas. Namun, pemerintah juga harus membandingkan utang dengan kinerja ekspornya. Sebab, utang ketika dianggap produktif seharusnya dapat mendorong ekspor.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top